Oleh : Karyudi Sutajah Putra
Jakarta – Di tanah yang retak bekas dentuman perang, seorang anak berdiri tanpa ayah.
Ia menyulam sunyi dengan air mata, mendengar ejekan yang menjelma nyanyian luka.
Dendam sempat mengetuk pintu hatinya, menawarkan bara untuk membakar dunia.
Namun ia memilih jalan lain: jalan yang sepi, jalan yang terang.
Ia balas cemooh dengan senyum, ia jawab benci dengan tangan terbuka.
Dari abu perang ia bangun harapan, dari ingatan pahit ia ciptakan cahaya.
Dialah Willy Abdullah Fujiwara (80), seorang anak korban sejarah yang menjadi saksi bahwa cinta lebih abadi daripada dendam.
Darah yang Terbelah
Willy lahir di Kotamobagu, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pada 25 November 1945, dari pasangan Asajiro Fujiwara (tentara Jepang, lahir 1902) dan Hj Dasima Mokodongan (lahir 1927). Di dalam tubuhnya mengalir dua darah: Jepang dan Indonesia.
Tetapi justru karena darah itu, ia kerap menjadi sasaran ejekan. Teman-temannya menyebutnya anak penjajah, anak asing, anak tanpa ayah. Luka itu menoreh dalam, apalagi sejak Indonesia merdeka sang ayah harus kembali ke negeri asal, meninggalkan istrinya yang tengah hamil enam bulan. Willy lahir tanpa pernah mengenal sosok “otosan”-nya.
“Sejak kecil saya sudah merasa seperti anak yatim,” kenangnya.
Arsip keluarganya pun lenyap saat rumah kayu peninggalan mereka dibakar habis dalam operasi militer menumpas PRRI/Permesta tahun 1958. Sejak itu, Willy benar-benar tak memiliki satu pun dokumen tentang sang ayah.
Hijrah ke Jakarta
Dengan perjuangan ibunya seorang diri, Willy menamatkan SD hingga SMA di Kotamobagu. Usai gejolak politik 1965, ia memutuskan hijrah ke Jakarta: melanjutkan kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), sekaligus membawa misi rahasia—mencari ayahnya melalui Kedutaan Besar Jepang.
Jakarta yang keras memaksanya melakukan apa saja untuk bertahan: menjadi pembantu rumah tangga, berjualan es mambo, hingga kuli panggul di Pasar Tanah Abang dan Pelabuhan Tanjung Priok.
Di sela perjuangan hidup itu, Willy aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), KAPPI, dan Resimen Mahasiswa. Ia juga masuk jaringan Persatuan Alumni dari Jepang (Persada) serta Yayasan Warga Persahabatan Indonesia–Jepang. Dari sinilah ia mulai mengenal banyak tokoh, baik dari Indonesia maupun Jepang.
Namun, pencarian “otosan” tetap tak kunjung menemukan jejak.
Kesempatan Emas
Hingga suatu hari ia membaca berita di Kompas: seorang pendeta Jepang, Ryoichi Katoh, tengah mengumpulkan anak-anak keturunan Jepang di Asia untuk diberangkatkan ke negeri matahari terbit.
Willy pun ikut serta bersama puluhan keturunan Jepang dari berbagai daerah di Indonesia. Dari 40 orang, hanya dirinya yang lolos seleksi pemerintah Jepang.
Ia menyiapkan paspor, visa, dan secuil bekal. Tiket pesawat sudah disediakan, namun karena kondisi keuangan, ia memilih menukar separuhnya untuk ongkos hidup, lalu berangkat dengan kapal laut.
“Waktu itu yang penting bisa sampai Jepang. Soal makan di sana, saya pasrah saja pada Allah,” ujarnya.
Hari itu, dengan tekad bulat, Willy naik kapal menuju negeri asing yang juga darahnya sendiri. Dari gelombang lautan, ia memandang jauh ke cakrawala, berharap kelak akan menemukan wajah yang sejak lahir hanya bisa ia panggil dalam doa: otosan.
(Bersambung ke Bagian 2)