FusilatNews – Menjabat sebagai rektor seharusnya adalah puncak integritas dalam dunia akademik. Ia tak hanya bertugas menjalankan roda pendidikan, tetapi juga menjadi teladan moral dan etika. Namun, ketika jabatan itu digunakan sebagai alat untuk melecehkan, maka yang tercoreng bukan hanya pribadi, melainkan institusi yang dipimpinnya. Begitulah luka yang kini menganga di Universitas Pancasila.
ETH, mantan rektor universitas yang membawa nama dasar negara, kini menghadapi tuduhan berat: pelecehan seksual terhadap sejumlah perempuan. Para korban bukan hanya berasal dari lingkar akademik, melainkan juga dari dunia profesional yang memiliki relasi kerja dengan kampus. Ironi ini terlalu dalam untuk diabaikan—kampus yang seharusnya menjadi rumah perlindungan justru menjadi ladang kekuasaan yang menindas.
Kasus ini telah bergulir sejak awal 2024, ketika dua korban pertama, RZ dan DF, melaporkan ETH ke Polda Metro Jaya. Namun, tak ada satu pun tersangka yang ditetapkan hingga kini. Aroma pengabaian tercium sejak awal. Lebih dari setahun tanpa progres berarti, hingga korban berikutnya, AIR dan AM, memutuskan melapor ke Bareskrim Polri. Langkah ini bukan sekadar ikhtiar hukum, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap sistem yang cenderung tutup mata.
Dua korban terbaru adalah pegawai swasta yang dulu perusahaannya bermitra dengan Universitas Pancasila. Menurut kuasa hukum mereka, Yansen Ohoirat, ETH melakukan pelecehan fisik kepada salah satu korban dengan memaksa memegang alat kelaminnya di sebuah lokasi di Jakarta Selatan, pada 2019. Sementara korban lain menerima pelecehan verbal ketika mediasi berlangsung pada 2024—dalam forum terbuka di pusat perbelanjaan, yang justru ditanggapi tawa oleh para hadirin dari pihak ETH. Ini bukan hanya pelecehan; ini pelecehan yang dilegitimasi oleh tawa kekuasaan.
Pelecehan seksual di lingkungan akademik bukanlah kabar baru. Tapi ketika pelakunya adalah orang nomor satu di kampus, dan pelaporannya seperti menemui jalan buntu, kita patut bertanya: di mana letak moral universitas kita? Apakah menara gading kini berdiri tanpa pondasi etika?
Korban tak hanya harus melawan trauma, tapi juga menghadapi tembok birokrasi hukum yang lamban dan acap kali abai. Permintaan mereka agar gelar perkara dilakukan di Mabes Polri menunjukkan ketidakpercayaan yang akut terhadap aparat daerah. Seperti biasa, publik hanya bisa berharap pada “gelar khusus” sebagai satu-satunya jalan agar perkara ini tak terkubur di ruang gelap keadilan.
ETH kini dijerat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tapi hukum yang baik saja tak cukup tanpa penegakan yang tegas dan berani. Yang diperlukan bukan hanya vonis, melainkan pernyataan keras bahwa kampus bukan tempat aman bagi pelaku pelecehan.
Universitas Pancasila harus introspeksi. Diamnya institusi, minimnya suara dari para dosen maupun mahasiswa atas kasus ini, menambah panjang daftar kelam dunia pendidikan kita. Menara gading bukan tempat berlindung para predator. Ia harus menjadi ruang aman dan adil, tempat ilmu dan moral tumbuh sejajar.
Jika ETH benar terbukti bersalah, ia harus dihukum. Namun lebih dari itu, dunia pendidikan kita harus belajar: bahwa kekuasaan tanpa moral akan selalu berujung pada kehancuran. Di tengah krisis nilai seperti sekarang, kita tidak butuh rektor yang cerdas. Kita butuh rektor yang berani bermoral.
























