FusilatNews – Dalam dunia politik, pembelaan yang bersandar pada hukum seringkali menjadi tameng untuk menutupi kenyataan moral yang tak terbantahkan. Pernyataan Kaesang Pangarep yang membela kakaknya, Gibran Rakabuming Raka, adalah contoh paling segar dari strategi ini. Kaesang menyebut pemilihan Gibran sebagai wakil presiden sudah sesuai konstitusi. Namun, ia menutup mata pada fakta penting: proses itu dibajak oleh praktik nepotisme yang sangat nyata.
Kaesang benar secara formal, tapi keliru secara substansial. Gibran memang “dipilih langsung oleh rakyat”, tapi pertanyaannya: apakah rakyat diberi pilihan yang adil? Usia Gibran saat itu belum memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai cawapres berdasarkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Namun, secara kebetulan yang mencurigakan, Mahkamah Konstitusi mengubah tafsir pasal itu — dan lebih mencurigakan lagi, yang memimpin sidang tersebut adalah pamannya sendiri, Anwar Usman. Ketika akhirnya Anwar dinyatakan melanggar etik berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK, bukankah ini cukup membuktikan bahwa Gibran adalah produk dari praktik nepotisme yang terang-benderang?
Kaesang boleh membela, tapi argumennya kosong. Ia berkata bahwa usulan forum purnawirawan TNI untuk mengganti Gibran menyalahi konstitusi. Padahal, forum itu justru sedang menunjukkan bahwa konstitusilah yang dilanggar lebih dulu — bukan oleh mereka, melainkan oleh elite yang memelintir hukum untuk memberi jalan bagi Gibran.
Lebih jauh, publik juga tak buta terhadap fakta bahwa Gibran, dalam hal kemampuan, belum menunjukkan kualitas sebagai negarawan. Ia belum menampilkan gagasan besar, belum juga memperlihatkan ketajaman visi. Jika dibandingkan dengan para wapres sebelumnya — seperti Try Sutrisno, Jusuf Kalla, bahkan Ma’ruf Amin — Gibran masih jauh di bawah dari sisi pengalaman, ketokohan, dan kapasitas.
Kaesang mungkin sedang memainkan peran sebagai adik yang loyal. Tapi sebagai Ketua Umum PSI, pembelaannya menunjukkan bagaimana partai politik kini lebih sibuk menjaga dinasti daripada menjaga demokrasi. PSI dulunya digadang sebagai partai anak muda, idealis, dan anti-nepotisme. Tapi hari ini, ia justru menjadi bumper dari praktik politik keluarga.
Demokrasi memang memberi ruang bagi siapa saja untuk maju. Tapi demokrasi juga butuh etika dan keadilan prosedural. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah legitimasi semu yang dikemas dalam konstitusionalisme palsu.