Oleh: Entang Sastraatmadja
Beras broken—atau beras pecah—adalah hasil sampingan dari proses penggilingan yang menyebabkan butiran beras menjadi tidak utuh. Meski nilai gizinya tak berbeda dengan beras utuh, tampilannya yang “cacat” membuat harganya lebih rendah. Dalam konteks pasar dan distribusi pangan nasional, keberadaan beras broken sejatinya adalah cermin dari kualitas tata kelola pangan kita.
Perum Bulog baru-baru ini meminta bantuan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk menjelaskan kepada masyarakat terkait kualitas beras yang ada di gudang Bulog. Di saat yang sama, Bulog justru mengklaim keberhasilan dengan menyebut telah mencetak rekor pengadaan beras terbesar dalam sejarah mereka. Per Maret 2025, pengadaan beras untuk stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mencapai 725 ribu ton, dan pada 20 April 2025 angkanya sudah melonjak menjadi 1,27 juta ton. Menteri Pertanian bahkan memperkirakan cadangan beras akan tembus 3,3 juta ton pada Mei mendatang.
Namun, di balik angka-angka besar itu, tersembunyi problem mendasar: meningkatnya distribusi beras broken 25% ke masyarakat, yang sebelumnya menerima hanya beras broken 5%. Tentu hal ini menimbulkan kaget dan kecewa. Perbedaan ini tidak hanya soal fisik beras, tetapi menyangkut persepsi publik terhadap mutu dan keadilan distribusi pangan oleh negara.
Ada perbedaan antara beras broken lokal dan impor dari berbagai aspek—kualitas, harga, varietas, hingga metode pengolahan. Hal ini sangat berpengaruh pada preferensi konsumen. Sebagian masyarakat mungkin memilih impor karena harga lebih murah, sementara yang lain lebih memercayai produk dalam negeri karena alasan kualitas atau semangat nasionalisme.
Sayangnya, sosialisasi terhadap publik soal jenis-jenis beras ini minim, bahkan nyaris absen. Di sinilah pentingnya kolaborasi Bulog dan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan edukasi publik. Sosialisasi bisa dilakukan secara masif melalui berbagai saluran komunikasi digital—bukan hanya untuk menjelaskan perbedaan, tetapi juga membangun kesadaran pangan nasional.
Pertanyaan yang patut diajukan: apakah Bulog tidak mampu mengolah gabah petani lokal agar menghasilkan beras broken 5–10% saja? Bukankah teknologi penggilingan sudah cukup memadai? Jawabannya: bisa. Tapi faktanya, hingga kini, angka broken masih tinggi. Mengapa?
Pertama, kualitas gabah dari petani sering kali belum ideal. Kedua, proses pengolahan beras yang belum optimal turut menyumbang tingginya angka beras pecah. Ketiga, teknologi yang digunakan Bulog di beberapa wilayah belum sepenuhnya modern. Dan terakhir, keterampilan operator mesin penggilingan pun berpengaruh besar terhadap hasil akhir.
Masalah ini bukan semata soal teknis, tapi soal komitmen. Jika semua pihak serius, kualitas pengadaan pangan nasional bisa ditingkatkan. Bulog harus berani berbenah, bukan sekadar berbangga pada angka-angka stok yang besar, namun mengabaikan mutu dan kepuasan publik.
Beras broken yang tak tertangani dengan baik bisa menjelma jadi simbol “negara broken”. Dan itu bukan sekadar urusan perut, melainkan soal wibawa, martabat, dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Semoga ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)