Disarikan Dari Tulisan : IAN WILSON
Pemilu dan pemilihan presiden yang akan datang di Indonesia nampaknya menghadapi tantangan serius terkait keberlangsungan demokrasi pemilihan. Dibalik panggung politik yang semakin terfragmentasi, terdapat indikasi kuat bahwa pemilu 2024 bisa menjadi puncak dari upaya untuk mengurangi skala pemilihan langsung, membawa implikasi mendalam bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Dalam gelaran debat presiden perdana pada bulan Desember 2023, pernyataan Anies Baswedan tentang kehilangan kepercayaan pada proses demokrasi Indonesia menarik reaksi tajam dari Prabowo Subianto. Respons Prabowo menyoroti ketegangan yang mengitari masa jabatan Baswedan sebagai gubernur Jakarta yang didukung oleh Prabowo. Namun, di balik retorika pertahanan terhadap sistem pemilihan, Prabowo sendiri telah lama menunjukkan ketidaksukaannya terhadap pemilihan langsung dan arah demokratis pasca-reformasi.
Partai Gerindra, yang menjadi landasan politik Prabowo, menolak arah reformasi pasca-1998/9, mengadvokasi kembali ke sistem berdasarkan Konstitusi asli 1945 Indonesia. Ini mencakup pembatalan amendemen konstitusi yang mendukung pemilihan demokratis dan batas masa jabatan presiden. Sikap ini bukan sekadar retorika; Prabowo telah memimpin koalisi parlemen yang berusaha mengubah undang-undang pemilihan umum, dengan upaya untuk mengembalikan pemilihan tidak langsung kepala daerah.
Namun, keinginan untuk mengurangi pemilihan langsung tidak terbatas pada Gerindra. Elite politik lainnya juga mengadvokasi ide-ide serupa, mengaitkan upaya ini dengan ketidakpuasan terhadap biaya dan ketidakpastian pemilihan langsung serta kebutuhan akan kandidat yang “dapat dipilih”. Meskipun hal ini belum menjadi isu kampanye secara terbuka, jelas bahwa potensi perubahan fundamental dalam sistem pemilihan Indonesia mengancam demokrasi pemilihan.
Di bawah Prabowo, sebuah pemerintahan berorientasi konsensus tampaknya menjadi pilihan yang lebih mungkin. Prabowo telah menekankan komitmen terhadap demokrasi, tetapi dengan memberi ruang bagi kekurangannya. Meskipun demikian, pengendalian atas proses pemilihan pemimpin eksekutif tampaknya menjadi prioritas, mencerminkan kekhawatiran akan keragaman politik dan kebutuhan akan kontrol atas proses politik.
Analisis mendalam terhadap dinamika politik saat ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah Indonesia menuju pemilu terakhirnya? Ancaman terhadap demokrasi pemilihan semakin nyata, dengan kemungkinan pemilihan langsung yang dirombak dan kandidat “dapat dipilih” yang lebih diperhitungkan daripada prinsip-prinsip demokrasi. Bagi Indonesia, masa depan demokrasi pemilihan tampak semakin gelap, dengan keberlangsungan demokrasi yang sejati menjadi taruhan bagi pemilu mendatang.