Oleh : Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212.
Keberhasilan Anies Baswedan dalam mengelola dirinya sendiri tak dapat disangkal. Ketika ia dipercaya menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada periode pertama Jokowi, Anies menonjol dengan visi dan dedikasinya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Ironisnya, komitmen kuatnya ini justru membuatnya tersingkir oleh Jokowi sendiri—sebuah langkah yang mencerminkan betapa berbedanya pandangan keduanya tentang arah pendidikan nasional.
Keberhasilan Anies tidak berhenti di situ. Tanpa perlu menjadi anggota partai politik, ia berhasil memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017-2022, mengalahkan Ahok, yang didukung oleh kekuatan politik dan finansial yang besar, termasuk dukungan dari partai PDIP dan Presiden Jokowi. Kemenangan ini menunjukkan ketangguhan Anies dalam menghadapi lawan yang kuat, sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai sosok independen yang dihormati di panggung politik.
Kini, Anies kembali mendapat kepercayaan dari sejumlah partai untuk maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024-2029. Dukungan publik yang solid membuat beberapa partai besar tak ragu untuk mempertimbangkan Anies sebagai kandidat yang layak. Namun, meski mendapatkan dukungan dari PKS, yang berhasil meraih kursi terbanyak di parlemen DKI Jakarta berkat dukungan mereka kepada Anies, partai ini terlihat ragu-ragu dalam memberikan dukungan penuh. Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar?
Partai NASDEM, yang awalnya dengan antusias mendukung Anies untuk Pilpres 2024, kini juga terlihat mengambil langkah hati-hati. Padahal, bukti empiris menunjukkan keberhasilan Anies dalam pembangunan Jakarta. Di sisi lain, wajar jika Gerindra tidak lagi mendukung Anies, mengingat kini Anies menjadi pesaing Prabowo dalam Pilpres 2024.
Bagi PKS, NASDEM, dan PKB, situasi ini menjadi sangat krusial. Jika mereka tidak memberikan dukungan penuh kepada Anies, hal itu bisa dianggap sebagai kerusakan dalam mentalitas politik nasional. Mengingat PKB bahkan telah menunjukkan komitmen dengan mengajukan Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar, sebagai calon wakil presiden mendampingi Anies, seharusnya langkah mereka lebih konsisten.
Namun, yang menarik adalah, di tengah kegaduhan politik ini, Anies sendiri belum memberikan pernyataan tegas mengenai sikap politiknya. Bahkan ketika PDIP, yang selama ini menjadi lawan politik Anies, menawarkan kader mereka sebagai pendamping, Anies tampak mempertimbangkan berbagai opsi. Apakah ini berarti Anies mungkin memilih tidak maju dalam kontestasi Jakarta 1 dan memilih posisi dalam kabinet 2024-2029? Atau ada strategi lain yang tengah disusun?
Pada akhirnya, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah mentalitas partai politik di Indonesia telah begitu rusak akibat “revolusi mental” ala Jokowi? Jika pola pikir dan kebijakan partai sudah sedemikian rusaknya, logis jika publik merasakan bahwa negara ini membutuhkan perubahan radikal dalam karakter dan moralitas bangsa. Revolusi moral dan sosial mungkin menjadi jawaban atas kegaduhan politik yang terus berulang.