Esai ini ditulis dalam semangat menghidupkan kembali kritik-kritik kultural terhadap watak bangsa, bukan sebagai cemoohan, tapi sebagai panggilan untuk berubah.
Fusilatnews – Sudah lebih dari empat dekade sejak Muhtar Lubis berdiri di atas mimbar Taman Ismail Marzuki dan melontarkan pidato yang mengguncang: Manusia Indonesia. Enam karakter negatif bangsa ia beberkan tanpa tedeng aling-aling—munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, takhayul, artistik, dan lemah karakter. Sejak saat itu, pidato itu menjadi semacam cermin retak yang kita enggan tatap. Kita seakan tahu itu benar, tapi terlalu malu untuk mengakuinya.
Waktu berjalan, zaman berubah, teknologi merangsek, dan demokrasi—setidaknya dalam format elektoral—telah lama berjalan. Tapi watak kolektif kita tetap menggelayut di tempat yang sama. Bangsa ini tampaknya masih takut pada satu hal: bercermin.
Kemunafikan kita tak hanya hidup di ruang privat, tapi menjadi napas dalam struktur sosial dan politik. Kita berbicara tentang kejujuran di kelas, lalu menyogok saat ujian masuk sekolah. Kita berkhotbah tentang antikorupsi, tapi menyuap polisi agar tilang batal. Kita mencaci para elit, lalu diam ketika mendapat remah fasilitas dari mereka. Moralitas kita dikendalikan oleh suasana, bukan prinsip.
Sikap enggan bertanggung jawab juga menjangkiti semua lapisan. Ketika bencana datang, kita buru-buru mencari “pihak yang harus disalahkan” alih-alih bertanya: apa kontribusi kita? Sampah menumpuk di sungai bukan karena “takdir”, tapi karena kita yang membuangnya. Tapi siapa yang mau mengaku? Kita pandai membuat kambing hitam, bahkan bila harus mengarang mitos untuknya.
Mentalitas feodal pun belum mati. Ia hanya berganti baju menjadi kekaguman buta pada kekuasaan. Kita lebih senang menyembah kekuatan ketimbang memperjuangkan kebenaran. Hierarki sosial membuat kita lupa bahwa kemanusiaan seharusnya setara. Maka, tak heran jika kritik dianggap durhaka dan kesetiaan pada penguasa lebih dihargai daripada integritas.
Ketika sains berkembang, kita masih percaya pada angka-angka keberuntungan, jimat, dan wangsit. Rasionalitas kalah oleh bisik-bisik warisan masa lalu. Tak hanya di desa, di kota pun kita masih meminta restu pada paranormal menjelang pemilu. Kita melawan perubahan bukan dengan data, tapi dengan ketakutan.
Satu-satunya harapan adalah sifat artistik—kemampuan mencipta dan mengolah rasa. Tapi sayangnya, seni kita lebih banyak dijadikan dekorasi nostalgia ketimbang energi perubahan. Budaya tak dirawat sebagai sumber daya intelektual, melainkan komoditas turistik.
Dan akhirnya, kita harus bertanya: mengapa karakter bangsa ini rapuh? Karena kita gagal membangun kemandirian berpikir. Kita lebih takut menjadi berbeda ketimbang menjadi benar. Dalam dunia yang semakin kompleks, kita masih meraba-raba mencari siapa yang harus diikuti, bukan apa yang harus diyakini.
Otokritik ini bukan untuk mencaci diri, melainkan untuk menyadarkan bahwa perubahan kolektif tak akan datang dari langit. Ia lahir dari keberanian individu untuk bercermin, mengaku salah, dan memperbaiki langkah—meski harus melawan arus.
Jika bangsa ini ingin melangkah ke masa depan dengan kepala tegak, maka cermin yang selama ini kita takuti, harus kita tatap dengan jujur.