TOLERANSI berasal dari bahasa Latin “tolerare”, yang berarti sabar dan menahan diri. Yaitu sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik antar individu maupun kelompok.
TOLERANSI MENURUT PARA AHLI
Tillman:
Toleransi menurut Tillman adalah sebuah sikap untuk saling menghargai, melalui pengertian dengan tujuan untuk kedamaian. Toleransi disebut-sebut sebagai faktor esensi dalam terciptanya sebuah perdamaian.
Max Isaac Dimont:
Menurut Dimont, Toleransi adalah sikap untuk mengakui perdamaian dan tidak menyimpan dari norma-norma yang diakui dan berlaku. Toleransi juga diartikan sebagai sikap menghormati dan menghargai setiap tindakan orang lain.
Friedrich Heiler:
Menurut Heiler, pengertian toleransi adalah sikap seseorang yang mengakui adanya pluralitas agama dan menghargai setiap pemeluk agama tersebut. Ia menyatakan, setiap pemeluk agama mempunyai hak untuk menerima perlakuan yang sama dari semua orang.
TOLERANSI dalam bahasa Teknik bisa disebut PENYESUAIAN atau KESESUAIAN (penyimpangan ukuran yang diperbolehkan/diizinkan): SESUAI LONGGAR atau Clearance Fit yang PAS atau Transition Fit yang diPAKSA atau Interfence Fit.
TOLERANSI dalam kehidupan SOSIAL tentu saja ditentukan oleh Kondisi Mental dan Idiologi atau Keyakinan.
Seorang manusia yang dilahirkan, dipastikan membawa Genes Turunan termasuk Memory kedua orang tuanya, diantaranya Idiologi atau keyakinan yang didapat dari pembelajaran, pola didik dan pola asuh serta kefahaman akan pengetahuan, juga kebiasaan dilingkungannya yang membangun COGNITIVE dan BEHAVIORnya atau pola fikir dan prilakunya.
COGNITIVE atau POLA FIKIR ditentukan oleh Knowledge atau pengetahuan. Bukan Teks book. Seseorang yang tahu dan faham tentu saja berbeda, jika seseorang berfikir informatif berarti pola fikirnya berdasarkan informasi atau konon katanya yang diambil dari memory tanpa proses fikir, sehingga hanya menimbulkan asumsi, maka putusan dan Behaviornya atau prilakunyapun tanpa mengacu pada aturan dan regulasi yang benar sesuai hukum. Bagi seseorang yang pengetahuannya terbatas ditambah pola fikirnya yang rendah dalam tingkatan berfikir, disebut emotional thinking bahkan Limbiq atau hanya mengikuti naluri dan hasrat semata. Ini akan menimbulkan ego yang sangat tinggi dan tak bisa menerima pendapat orang lain dikarenakan prilakunya telah mengubah pola fikirnya menjadi fikiran otomatis. Dalam bahasa Islamologi Taqlid yg cenderung majnun atau dalam bahasa kristologi bebal permanen.
Banyak perbedaan manusia mulai tingginya, warna rambut, warna mata, warna kulit, budaya dan agamanya serta kondisi sosial dan mentalnya sering kali ditanggapi dengan beragam ekspresi mulai dengan mengernyutkan dahi, heran, kagum, mencibir bahkan memicu menimbulkan perdebatan dan persmusuhan dikarenakan keterbatasan pemahaman, kesalah fahaman bahkan ketidak mampuan menerima perbedaan itu.
Banyak upaya-upaya diplomasi dilakukan untuk berinteraksi sesama manusia dengan mengabaikan ego dan menjunjung tinggi toleransi akan perbedaan, namun ada hal yang sering kali terlewatkan yaitu mengenai Idiologi atau Keyakinan yang membentuk Karakter Khas seorang manusia atau bangsa yang berdaulat atau merdeka seperti halnya tentang perbedaan Budaya dan Agama yang seolah mau dilebur atau disamakan.
Budaya dan Agama tentu saja merupakan componen utama Cognitive dan Behavior yang membentuk Belief System atau keyakinan seseorang disamping Level Of Thingking, maka tak heran bila ada seseorang yang keukeuh mempeetahankan keyakinannya tanpa memperdulikan keyakinan orang lain. Parahnya ada seorang Ahli Agama (Keyakinan atau Idiologi) bahkan Ulama berpendapat tentang TOLERANSI TANPA BATAS. Bagaimana mungkin Keyakinan seseorang tentang TOLERANSI beragama harus diaduk atau diobok-obok dengan alasan demi persatuan?
Contoh kejadiannya akhir-akhir ini sedang ramai tentang TOLERANSI DAN UCAPAN SELAMAT NATAL yang dibranding sesuai kehendak sendiri tapi mengatas namakan institusi. Mereka lupa atau tidak faham Islamologi atau kristologi atau punya tujuan flurarisme atau bahkan sengaja mau menjauhkan seseorang dari keimanan akan keyakinannya perlu tabayun atau dipertanyakan bahkan dipaparkan berdasarkan dasar keyakinannya atau agamanya tentunya.
Bagaimana mungkin seorang Muslim harus mengucapkan SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU yang nota bene berbenturan dengan KEYAKINANnya? Dimana keyakinannya itu berasal dari Memory Turunan dan Knowledge bukan berdasarkan ASUMSI apalagi Emosi.
Jadi Toleransi tanpa Batas itu bisa disebut tidak berdasarkan ukuran baku tapi berdasar hasrat birahi akan duniawi dan keterbatasan pola fikirnya atau bisa jadi yang mendeklarasikan TOLERANSI VERSI ENAKNYA adalah pasien gangguan Cognitive dan Behavior.
Jadi pantas bila TOLERANSI telah berubah menjadi TOLOLANSI yang berarti kependekan kata dari KETOLOLAN yang berAKSI yaitu ketika seseorang bersikap berdasarkan fikiran otomatis atau keterbatasan pengetahuan bahkan berdasarkan emosional bahkan NGAWUR karena gangguan fikiran.