OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Beras telah ditetapkan sebagai komoditas politis dan strategis. Penetapan seperti ini, tentu dilandasi oleh berbagai pertimbangan. Bukan saja beras merupakan jenis bahan pangan yang menjadi makanan utama bangsa kita, namun sekali saja Pemerintah keliru menerapkan kebijakan, maka beras pun dapat menjadi senjata makan tuan.
Banyak hal yang dapat diungkap sekiranya kita akan membahas dunia perberasan. Selain dari sisi produksi yang dalam beberapa tahun terakhir ini menggambarkan kerisauan yang mendalam, namun dari sisi konsumsi pun kita menghadapi masalah cukup pelik. Salah satunya terkait isu kualitas beras yang dihasilkan petani dalam negeri, belum seperti yang diharapkan.
Dari sisi penampakan dan cita rasa, membandingkan beras impor dengan beras produksi petani di dalam negeri, menarik untuk dibincangkan lebih dalam. Penampakan beras impor terlihat bagus karena broken sekitar 5 %. Berbeda dengan beras dalam negeri yang brokennya jauh diatas 5 %. Namun, dari sisi rasa, beras dalam negeri lebih pulen, bergizi dan maknyus.
Apa yang bisa disimpulkan dengan melihat perbedaan beras impor dengan beras petani dalam negeri diatas ? Beras impor memang unggul dari aspek penampakan, tapi beras petani dalam negeri unggul dari aspek cita rasa. Pertanyaan kritisnya adalah mampukah produksi beras petani dalam negeri angka brokennya sebesar 5 % ? Jawabnya tegas, mestinya bisa !
Banyak faktor kalau penampakan beras dalam negeri terlihat bagus dan broken nya sebesar 5 %. Diawali dengan pemilihan benih dan teknik budidaya hingga panen tiba, sampai dengan di penggilingan ketika gabah itu digiling. Selama kualitas penggilingan padinya belum canggih dengan rendemen cukup tinggi, boleh jadi kita akan kesulitan mendapatkan beras yang angka brokennya 5 %.
Upaya menciptakan beras yang brokennya 5 %, bukanlah hal mudah untuk diwujudkan. Untuk memulainya saja dibutuhkan komitmen bersama diatara para pelaku perberasan, baik yang bergerak di budidaya atau pun di pasar. Kemitraan petani dengan bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha sangat dibutuhkan. Semua harus berharmoni dan bekerja-sama.
Dari sisi teknis budidaya agar mampu menghasilkan produksi dan produktivitas lebih meningkat, tentu sangat memerlukan sinergi dan kolaborasi lebih nyata, diantara petani, penggilingan padi dan pelaku pasar lain. Semua harus sepakat, upaya menghasilkan beras dengan broken 5 %, membutuhkan gerakan bersama dengan menendang jauh-jauh yang namanya ego sektor.
Untuk lebih membumikan spirit
seperti ini, sangat dibutuhkan adanya desain perencanaan yang utuh, holistik dan kompehensif. Artinya diperlukan sebuah Grand Desain Peningkatan Kualitas Beras Dalam Negeri lengkap dengan Roadmap pencapaiannya. Grand Desain inilah yang akan menuntun kita menuju perbaikan kualitas produksi beras yang terukur.
Jujur kita akui, dengan jumlah petani cukup besar dan tersebar di seluruh pelosok tanah air, namun tidak didukung oleh jumlah petugas Penyuluh Pertanian yang memadai, cenderung akan memperlambat proses penularan inovasi. Itu sebabnya, menjadi sangat logis, bila dalam tempo yang sesegera mungkin, Pemerintah menambah jumlah Penyuluh Pertanian, sehingga satu desa satu Penyuluh terwujud.
Walaupun ada Kepala Daerah yang menganggap Penyuluh Pertanian tidak terlampau penting dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, namun hingga kini banyak pihak yang meyakini, para Penyuluh Pertanian inilah sosok terbaik untuk melaksanakan proses pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan petani. Penyuluh adalah guru terbaiknya petani.
Problemnya adalah apakah dunia Penyuluhan Pertanian di negeri ini, masih seperti yang digambarkan diatas ? Atau tidak, dimana dunia Penyuluhan Pertanian, kini sedang mencari bentuk idealnya setelah 10 tahun lalu, kelembagaan Penyuluhan diporak-porandakan oleh lahirnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ?
Jawaban jujur atas masalah ini, benar-benar sangat kita butuhkan, sekiranya kita akan berusaha untuk mewujudkan kualitas beras petani yang lebih baik. Tanpa dukungan para Penyuluh Pertanian dan keterlibatan penggilingan padi yang optimal, omong kosong para petani akan mampu menghasilkan beras yang memiliki broken 5 %. Kita tetap saja menghasilkan beras dengan broken diatas 5 %.
Satu persoalan serius dalam pencapaian swasembada beras adalah kekakuan dalam meraih swasembada yang hanya fokus pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas setinggi-tingginya, tanpa dibarengi dengan adanya strategi untuk meningkatkan kesejahteraan petaninya. Akibatnya, terjadi kondisi produksi meningkat, namun kesejahteraan petani jalan ditempat alias tidak beranjak.
Lebih parah lagi, upaya peningkatan produksi setinggi-tingginya ini tidak juga dibarengi dengan langkah untuk meningkatkan kualitas beras yang dihasilkan. Yang penting produksi meningkat sekalipun beras diperoleh kurang sesuai dengan aturan. Sebut saja, kadar air jauh diatas 14 %. Butir hampa diatas 3 %. Broken diatas 5% dan lain sebagainya.
Semoga jadi percik permenungan kita bersama. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).