Jakarta – Fusilatnews – Munculnya produk-produk tidak halal seperti bir dan wine yang beredar di pasar dengan label dan sertifikat halal menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Menanggapi hal ini, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda, menyampaikan klarifikasi terkait produk yang menggunakan nama-nama yang mungkin menimbulkan kebingungan.
KH Miftahul Huda menjelaskan bahwa minuman tradisional bir pletok, yang sudah lama dikenal dalam budaya masyarakat Betawi, tidak dapat diasosiasikan dengan produk haram meski menggunakan kata “bir”. “Nama tersebut sudah menjadi bagian dari tradisi Betawi dan tidak memiliki kandungan yang melanggar syariat Islam. Karenanya, bir pletok diperbolehkan untuk mengajukan sertifikasi halal tanpa perlu mengganti namanya,” ungkapnya dalam konferensi pers yang digelar LPPOM MUI di Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Lebih lanjut, Miftahul Huda menekankan bahwa meskipun nama-nama tradisional seperti bir pletok bisa diterima, pihak MUI tetap memberikan panduan agar produk-produk yang ingin mengajukan sertifikasi halal tidak menggunakan nama-nama yang identik dengan minuman haram. “Kami menyarankan produsen untuk tidak menggunakan istilah-istilah yang menyesatkan atau bertentangan dengan hukum Islam, seperti kata ‘wine’, ‘beer’, atau ‘tuyul’,” tambahnya.
Sebelumnya, kebijakan kontroversial datang dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, yang memberikan sertifikasi halal untuk beberapa produk minuman beralkohol seperti bir, tuak, dan wine. Keputusan ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk para ulama, karena produk-produk tersebut secara jelas dinyatakan haram menurut hukum Islam.
Polemik ini memunculkan kekhawatiran di masyarakat tentang pentingnya menjaga keaslian sertifikasi halal yang tidak hanya bergantung pada label tetapi juga proses verifikasi yang mendalam.