Ekspor pasir laut, yang baru-baru ini kembali diizinkan melalui Peraturan Pemerintah No. 26/2023 dan Permendag No. 20/2024 serta Permendag No. 21/2024, menjadi isu yang sangat kontroversial di Indonesia. Tidak hanya menyangkut isu lingkungan dan ekosistem laut yang terancam rusak, tetapi lebih dari itu, ekspor pasir laut ini sesungguhnya mencederai kedaulatan negara. Ketika pasir dari garis pantai terluar dikeruk untuk dijual ke negara lain, seperti Singapura, kita tidak hanya menjual material alam, tetapi juga mempersempit wilayah kedaulatan kita sendiri.
Di masa lalu, kedaulatan bangsa ini dijaga dengan kekuatan penuh oleh para pendiri negara, dan batas wilayahnya dipertahankan dengan harga yang sangat mahal. Kini, melalui kebijakan ekspor pasir laut, batas wilayah tersebut dijual secara legal. Bagaimana rakyat tidak marah? Mereka yang rela hidup dengan kesederhanaan untuk menjaga kehormatan bangsa, kini harus melihat kedaulatan negara dijual murah oleh pejabat dan elit politik yang lebih mementingkan keuntungan finansial pribadi.
Kedaulatan yang Tergerus Pasir
Menurut hukum laut internasional yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), batas wilayah negara maritim diukur dari garis pantai terluar. Artinya, pulau-pulau terluar yang memiliki garis pantai panjang adalah aset penting bagi kedaulatan wilayah Indonesia. Namun, ketika pasir dari garis pantai dikeruk, wilayah tersebut perlahan menyusut, dan dengan itu, batas kedaulatan Indonesia ikut tergerus.
Sementara itu, negara yang membeli pasir laut, seperti Singapura, memanfaatkan pasir tersebut untuk reklamasi, menambah luas daratan mereka. Dengan bertambahnya luas daratan, batas kedaulatan mereka pun bergeser, memperluas wilayah mereka dan secara tidak langsung mempersempit wilayah Indonesia. Ini bukan sekadar soal ekonomi atau lingkungan, melainkan tentang pergeseran batas wilayah yang merongrong kedaulatan bangsa.
Singapura sudah lama dikenal sebagai negara yang melakukan reklamasi besar-besaran. Dengan luas wilayah yang terbatas, reklamasi menjadi solusi untuk memperluas lahan mereka. Sayangnya, pasir yang digunakan untuk memperluas wilayah Singapura banyak yang berasal dari Indonesia, yang notabene memperkecil wilayah kedaulatan kita.
Pengkhianatan Elit Politik
Apa yang lebih menyakitkan bagi rakyat adalah kenyataan bahwa aktivitas merugikan ini justru didukung oleh para elit politik dan penguasa. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan nasional, justru mengeluarkan aturan yang melegalkan ekspor pasir laut. Padahal, tindakan ini jelas merusak kedaulatan bangsa. Sementara itu, Presiden Jokowi menjustifikasi ekspor pasir laut ini sebagai “pemanfaatan sedimentasi,” sebuah dalih yang tidak bisa diterima oleh rakyat. Pengakuan Jokowi bahwa pasir laut merupakan bagian dari material sedimentasi hanya memperkuat kesan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya jujur dalam menjelaskan konsekuensi dari kebijakan ini.
Lebih parah lagi, tokoh-tokoh politik lainnya juga terlibat dalam bisnis ekspor pasir laut ini. Nama-nama besar seperti Yusril Ihza Mahendra dan Hashim Djojohadikusumo, adik dari Prabowo Subianto, juga terlibat dalam bisnis ini melalui perusahaan-perusahaan mereka yang baru didirikan setelah kebijakan ini dikeluarkan. Yusril melalui PT Gajamina Sakti Nusantara, dan Hashim melalui PT Rejeki Abadi Lestari, ikut serta dalam aktivitas yang berpotensi memperjualbelikan batas kedaulatan Indonesia demi kepentingan pribadi. Hal ini menambah lapisan kemunafikan di antara para elit politik, yang di depan publik berpidato soal nasionalisme, tetapi di belakang layar mereka terlibat dalam bisnis yang jelas merugikan kepentingan bangsa.
Dampak Lingkungan dan Kehidupan Nelayan
Selain merusak kedaulatan, ekspor pasir laut juga berdampak buruk bagi lingkungan. Pengerukan pasir laut merusak ekosistem bawah laut dan habitat ikan. Bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut, kebijakan ini adalah ancaman langsung terhadap mata pencaharian mereka. Mereka kehilangan tempat mencari ikan dan sumber daya laut lainnya karena ekosistem yang rusak. Nelayan-nelayan ini adalah lapisan masyarakat yang paling rentan, namun suara mereka seringkali diabaikan oleh pemerintah.
Masyarakat pesisir yang tinggal di pulau-pulau terluar juga menghadapi risiko besar. Hilangnya garis pantai akibat pengerukan pasir tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga membuat pulau-pulau terluar semakin rentan terhadap abrasi dan perubahan iklim. Ironisnya, di saat negara seharusnya memperkuat pertahanan di wilayah-wilayah perbatasan, pemerintah justru mengizinkan pengikisan wilayah-wilayah tersebut melalui kebijakan ekspor pasir laut.
Kesimpulan: Kedaulatan yang Dijual Murah
Ekspor pasir laut bukan hanya soal menjual material alam atau mengeruk keuntungan dari sumber daya negara. Ini adalah soal kedaulatan dan marwah bangsa. Kebijakan yang mengizinkan ekspor pasir laut sebenarnya adalah tindakan yang perlahan tapi pasti menggerogoti batas wilayah dan kedaulatan Indonesia. Sementara negara lain, seperti Singapura, memperluas wilayahnya dengan material dari tanah air kita, kita justru kehilangan luas wilayah kedaulatan. Dan ini semua dilakukan dengan legalisasi oleh elit politik yang seharusnya melindungi kepentingan bangsa.
Rakyat berhak marah. Mereka berhak mempertanyakan mengapa pemerintah justru melegalkan tindakan yang jelas-jelas merugikan bangsa. Marah adalah respon wajar ketika kedaulatan negara dijual murah, dan elit politik terlibat dalam transaksi yang mencederai kehormatan bangsa. Keadaan ini menunjukkan betapa rusaknya integritas sebagian besar elit politik kita. Mereka yang seharusnya menjadi benteng kedaulatan justru menjadi agen penjualan batas negara.
Jika kebijakan ini terus berlanjut, Indonesia tidak hanya akan kehilangan pasir laut, tetapi juga akan kehilangan kedaulatannya. Ketika batas wilayah negara menyusut, marwah bangsa ini pun turut tergerus, dan yang tersisa hanyalah rakyat yang marah dan elit yang mengkhianati.