Di sudut bumi yang disebut Kalimantan, terdapat hutan yang dulunya berdiri megah, menjadi paru-paru dunia yang menyuplai oksigen bagi kehidupan. Namun, seiring berjalannya waktu, hutan-hutan ini tak lagi bisa bersembunyi dari ketamakan manusia. Pembabatan hutan yang semakin meluas menjadi ancaman nyata, bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi keberlangsungan hidup berbagai spesies, termasuk orangutan yang telah lama menjadi simbol keanekaragaman hayati di tanah ini.
Kalimantan, yang dikenal sebagai surga biodiversitas, kini perlahan-lahan berubah menjadi zona kritis. Dulu, hutan-hutan ini menjadi rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna, menciptakan ekosistem yang seimbang. Namun, kini, saat kita melihat betapa besarnya kerusakan yang terjadi, kita menyaksikan orangutan yang terpaksa meninggalkan habitatnya. Di tengah keheningan hutan yang terganggu, suara tangisan mereka menggema, memanggil kita untuk menyadari penderitaan yang mereka alami. Dalam perjuangan untuk bertahan hidup, mereka terpaksa merambah ke kawasan yang tidak seharusnya mereka huni, dan menjadi simbol dari kehampaan kepemimpinan bangsa ini.
Sementara itu, para pemimpin bangsa terus membantah dan menutup mata terhadap kenyataan pahit yang terjadi. Alasan demi alasan dikeluarkan untuk membenarkan praktik-praktik yang merusak ini, seolah-olah mereka tidak mendengar teriakan bumi yang merintih. Rencana pembangunan yang megah dijadikan alasan untuk menjustifikasi pembabatan hutan, seakan-akan membangun gedung-gedung pencakar langit lebih penting daripada melestarikan kehidupan. Dalam benak mereka, keuntungan jangka pendek selalu lebih menggiurkan daripada menjaga warisan alam yang tak ternilai.
Namun, saat hutan-hutan ini ditebang dan lahan dibuka untuk perkebunan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh orangutan, tetapi juga oleh manusia. Pemanasan global semakin meningkat, bencana alam yang dahsyat semakin sering terjadi, dan kualitas udara semakin memburuk. Hutan-hutan yang seharusnya menyerap karbon kini hilang, dan efek rumah kaca semakin parah. Kita, sebagai manusia, berada di sisi yang sama dengan orangutan—semua makhluk hidup bergantung pada kesehatan ekosistem yang sama.
Kini, pembabatan hutan merambah ke Pasir Laut, mengancam keanekaragaman hayati lainnya. Tanah yang seharusnya menjadi rumah bagi berbagai spesies, kini terancam oleh eksploitasi yang tak terkendali. Lautan yang dulunya penuh dengan kehidupan, kini menghadapi ancaman dari aktivitas yang merusak. Dalam pencarian keuntungan sesaat, kita sedang merusak masa depan, tidak hanya untuk generasi kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Penting bagi kita untuk membuka mata dan telinga terhadap realitas yang ada. Kita harus berani mempertanyakan kebijakan yang ada, dan meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang seharusnya menjaga dan melindungi bumi ini. Keberanian untuk berbicara adalah langkah pertama menuju perubahan. Kita harus bersatu untuk mengadvokasi perlindungan terhadap hutan dan habitat yang tersisa, mendesak agar tindakan nyata diambil untuk memulihkan kerusakan yang telah terjadi.
Kita berada di persimpangan jalan; pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan terus membiarkan hutan-hutan ini lenyap, menyaksikan orangutan yang terpaksa mengidap “kanker” akibat terasing dari habitatnya, atau kita akan bangkit dan berjuang untuk menyelamatkan alam ini? Mari kita memilih untuk menjadi pelindung bumi, bukan perusak. Karena jika kita terus membiarkan kebodohan dan ketamakan menguasai, kita akan menemukan diri kita di dunia yang tidak hanya kehilangan paru-paru, tetapi juga kehilangan jiwa dan harapan untuk masa depan.