Kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng senilai Rp300.000 mencerminkan “kegagalan dan kekalahan pemerintah” terhadap mafia dalam mengatur skema harga minyak goreng, kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Di satu sisi, Bhima mengatakan pemberian BLT adalah sesuatu yang baik, namun di sisi lain kebijakan ini justru berisiko membuat harga minyak goreng makin sulit turun dan dikontrol. Pasalnya, pasar akan menganggap masyarakat mampu membeli minyak goreng dengan harga yang mahal saat ini.
“Seakan jadi normalisasi, ya sudah terima saja harga minyak goreng itu naik, kemudian pemerintah akan beri bantuan. Ini seperti mekanisme pasar, seakan (pemerintah) tidak ingin mengatur harga minyak goreng,” kata Bhima kepada BBC News Indonesia, Minggu (03/04).
“Persoalan sekarang ini adalah kegagalan pemerintah dalam mengatur harga [minyak goreng] baik kemasan maupun curah. Jadi problem utama soal tata kelola, dominasi dari perusahaan minyak goreng yang mengatur harga, maraknya penimbunan di titik distribusi. Itu tidak bisa diselesaikan dengan BLT,” lanjut dia.
Seorang pemilik warung makan di Jakarta Barat, Ulfa Zahra, berharap ada solusi yang lebih pasti dari pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng, selain memberi bantuan yang sifatnya sementara. Menurut Ulfa, nilai bantuan yang ditawarkan pemerintah tidak cukup menanggung selisih harga yang ditanggung pelaku usaha seperti dirinya.
“Enggak cukup banget, bikin sedih aja gitu. Maunya semua (harga) dinormalin, yang terpenting itu, harga minyak normal aja,” kata Ulfa ketika ditemui BBC News Indonesia, Minggu (03/04). Pada Jumat lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa pemerintah akan memberikan BLT minyak goreng senilai Rp100.000 per bulan selama tiga bulan kepada 20,5 juta masyarakat dan 2,5 juta pedagang kaki lima.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Abraham Wirotomo mengatakan pemberian BLT bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat yang kurang mampu. Dia membantah bahwa kebijakan BLT sebagai solusi instan atas persoalan di dalam negeri dan menekankan bahwa penyebab utama harga minyak goreng meningkat karena terjadi lonjakan harga secara global.
‘Kalau tak ada solusi lain, ketika bantuan habis ya habis juga lah kami’
Sejak pandemi melanda, omset di warung makan Ulfa menurun hingga 70%. Situasi terasa makin sulit baginya ketika harga bahan-bahan pokok naik, terutama minyak goreng.
Warung makan itu biasanya membutuhkan empat liter minyak goreng per hari. Namun belakangan ini, Ulfa mengaku kesulitan mencari minyak goreng curah. Sedangkan minyak goreng kemasan harganya kian tinggi dan pembeliannya kerap dibatasi.
“Sampai ngantre sih enggak, tapi susah dapatnya harus mencari kemana-mana. Kemarin dapat minyak curah Rp20.000 per liter, pernah juga beli dua liter itu Rp45.000,” kata Ulfa mengeluhkan mahalnya harga minyak goreng curah meski pemerintah telah menetapkan harga tertingginya sebesar Rp14.000 per liter.
Dengan selisih harga yang harus ditanggung untuk membeli minyak goreng, Ulfa merasa BLT senilai Rp100.000 per bulan tidak cukup. Jumlah itu paling-paling hanya menutupi selisih harga dalam sepekan untuk pelaku usaha seperti dirinya.
“Enggak cukup sih, maunya semua dinormalin aja dan harga seperti biasa. Karena kan sudah pandemi, semua bahan naik, pendapatan enggak seberapa. Ya sudah kita bisa apa? Sehari-hari (penghasilan) cukup buat makan saja,” ujar dia.
Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, seorang petani bernama Delianis, 51, juga mengeluhkan sulit dan mahalnya minyak goreng. Delianis berpenghasilan sekitar Rp30.000-Rp50.000 per hari. Dia juga terdaftar sebagai penerima bantuan melalui program keluarga harapan yang akan berhak menerima BLT minyak goreng.
Beberapa waktu belakangan ini, kenaikan harga minyak goreng membuat Delianis mau tidak mau mengurangi konsumsinya. Biasanya satu liter minyak goreng habis dalam sepekan, namun sekarang dia berusaha agar satu liter minyak goreng cukup untuk konsumsi satu bulan.
“Sekarang ini makanan direbus-rebus saja banyaknya, biasanya sering bikin gorengan untuk sore-sore. Sekarang minyak goreng cuma dipakai untuk lauk utama aja,” kata dia. Delianis berharap pemerintah tidak berhenti pada solusi memberi bantuan uang tunai, namun juga segera menstabilkan harga minyak goreng.
“Itu (BLT) kan hanya sesaat seharusnya bagaimana (pemerintah) mencari solusi. Kalau bantuan cuma segini sampai di mana lah coba, sampai kerongkongan sudah habis, cuma Rp300.000 apa yang kita bisa buat? Kalau enggak ada solusi lain, ketika bantuan habis ya habis lah kami,” tutur Delianis. Terkait periode pemberian BLT, Abraham Wirotomo mengatakan pemerintah sejauh ini baru berencana menyediakannya hanya untuk tiga bulan ke depan.
“Tentu kita berharap dalam tiga bulan ke depan situasi pasar internasional kembali stabil, harga turun kembali sehingga tanpa BLT dan subsidi minyak goreng curah, masyarakat kembali mampu membeli,” ujar Abraham melalui pesan singkat kepada BBC News Indonesia.
BLT dinilai ‘percuma’ jika minyak goreng curah masih langka
Bhima Yudhistira dari Celios berpendapat pemberian BLT akan “percuma” apabila pemerintah tidak bisa menjamin ketersediaan stok minyak goreng curah, yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, termasuk para pedagang kaki lima.
Sedangkan apabila mereka harus beralih dengan membeli minyak goreng kemasan yang stoknya lebih melimpah, nominal BLT sebesar Rp100.000 per bulan dianggap “terlalu kecil”.
“Disparitas harga antara Jawa dan luar Jawa itu sangat lebar, di Sulawesi harga minyak goreng kemasan bisa lebih dari Rp45.000 per liter, untuk rumah tangga saja tidak mencukupi BLT itu,” kata Bhima.
“Belum lagi untuk PKL, Rp100.000 hanya cukup untuk kebutuhan dua sampai tiga hari. Dengan nominal ini dipukul rata tentu tidak adil,” lanjut dia.
Belum lagi jumlah penerima BLT yang dianggap belum mencakup masyarakat yang dalam kondisi rentan miskin. Begitu pula jumlah PKL yang dialokasikan hanya sebanyak 2,5 juta, sedangkan jumlah UMKM di Indonesia mencapai 60 juta.
“Kebijakan BLT ini akan menimbulkan ketimpangan, distribusi yang justru tidak merata, lalu dikasih uang tapi kalau barangnya langka kan percuma,” ujar Bhima.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, bahwa BLT itu tidak cukup menambah daya beli masyarakat sepanjang minyak goreng curah masih langka.
Dia memprediksi stok minyak goreng curah masih akan langka sepanjang penerapan harga tertinggi Rp14.000 tidak berjalan efektif. Saat ini saja, berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga rata-rata minyak goreng curah secara nasional per 1 April 2022 berkisar Rp18.400 per liter.
“Dengan situasi begini banyak pelaku usaha menahan produksi dan tidak menjual minyak goreng curah, karena langka harganya pun bisa dipermainkan sehingga tidak terkontrol,” jelas Tauhid.
Oleh sebab itu, pemberian BLT dianggap sama sekali tidak menjawab persoalan yang terjadi saat ini.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden bidang perekonomian, Edy Priyono mengakui bahwa kelangkaan minyak goreng curah dan harga sawit yang tinggi masih terjadi.
“Kemenperin sedang tangani ini untuk memastikan produksi dan distribusi minyak goreng curah berjalan dengan baik. Mmg di lapangan kami melihat belum sepenuhnya seperti yang diharapkan, tapi sudah mulai berjalan,” kata dia.
Terkait kritik atas kegagalan pemerintah mengatasi persoalan minyak goreng, Edy mengatakan “pemerintah akan mengupayakan yang terbaik untuk masyarakat”. Sedangkan mengenai nominal BLT yang ditetapkan, dia meyakini nilainya telah mencukupi.
“Dana BLT kan Rp100.000 per bulan. Dengan harga minyak kemasan sekarang, itu minimal bisa beli empat liter. Masa dibilang percuma? Dan BLT ini total untuk tiga bulan kan jadi Rp300.000, mestinya sangat membantu,” kata Edy.
Dugaan kartel dan penindakan yang lemah
Bhima Yudhistira mengatakan stabilitas harga minyak goreng tidak akan tercapai sepanjang pemerintah dan penegak hukum tidak menindak tegas “mafia-mafia” maupun perusahaan minyak goreng yang diduga mempermainkan harga.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menduga ada praktik kartel monopoli dalam perdagangan minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada Kamis (31/03) Ketua KPPU Ukay Karyadi mengatakan bahwa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh delapan kelompok usaha. Posisi tawar mereka yang tinggi dinilai bisa memengaruhi harga di pasaran. Tetapi KPPU masih menyelidiki dugaan itu lebih lanjut.
Bhima melanjutkan, beragam kebijakan di hilir seperti pemberitan BLT –tanpa menuntaskan akar persoalannya– hanya menunjukkan “kekalahan pemerintah terhadap lobi-lobi konglomerat sawit dan minyak goreng”.
Menurut dia, sangat ironis ketika pemerintah tidak memiliki andil dalam tata kelola minyak goreng di saat Indonesia merupakan salah satu produsen CPO terbesar di dunia.
“Pemerintah harus tegas pada perusahaan yang tidak patuh aturan, salah satunya dengan mencabut hak guna usahanya. Perusahaan minyak goreng ini pemain besarnya terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit, jadi harus ada sanksi yang keras,” kata Bhima.
BBC News Indonesia telah menghubungi Ketua Satgas Pangan Polri Irjen Helmy Santika, serta Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan terkait hal ini. Tetapi keduanya tidak merespons sampai berita ini ditulis.
Sumber : BBC Indonesia