Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden No 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai turunan atas revisi Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 2022 tentang IKN melalui penetapan UU No 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas UU No. 3 tahun 2022 tentang IKN.
Perpres yang ditandatangani pada 11 Juli 2024 oleh Presiden Joko Widodo itu mendapatkan sorotan, terutama Pasal 9 yang membuka peluang pemberian Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun atau nyaris 2 abad.
“Kritik soal pemberian HGU hingga 190 tahun sebelumnya telah menjadi sorotan oleh masyarakat sipil yang dianggap bertentangan dengan semangat UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahkan melebihi hukum kolonial Agrarische Wet 1870 yang hanya memberi konsesi selama 75 tahun,’ kata Peneliti Setara Institute Pebria Prakarsa Renta dalam rilisnya, Rabu (17/7/2024).
Pemberian HGU hingga 190 tahun itu, menurut Aci panggilan akrab perempuan ayu itu, tidak konstitusional dan tidak berpihak pada semangat reformasi agraria dan hak atas tanah.
“Kami memandang proses pemberian HGU dengan semangat untuk memikat investasi secara tidak sehat, berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM berkelanjutan. Apalagi integrasi prinsip bisnis dan HAM sama sekali tidak menjadi konsideran kebijakan-kebijakan terkait IKN dan percepatan pembangunan IKN,” jelasnya.
Sejauh pembacaan atas UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN melalui penetapan UU No 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN, lanjut Aci, sama sekali tidak ditemukan klausul tentang pemenuhan aspek HAM oleh entitas bisnis dalam peranjian investasi maupun perdagangan, di mana prinsip bisnis dan HAM saat ini telah menjadi rezim hukum internasional dan juga rezim pasar global.
“Ketiadaan adopsi prinsip ini menjadi salah satu hambatan bagai investor untuk terlibat dalam pembangunan IKN,” cetusnya.
Menurut Aci, prinsip bisnis dan HAM menekankan setiap kontrak investasi harus memastikan penghormatan perusahaan terhadap HAM.
“UN Working Group on Business and Human Rights merekomendasikan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa aspek meliputi penilaian dampak HAM sebelum menyelesaikan kontrak investasi, memasukkan klausul dalam kontrak investasi negara-perusahaan yang mengharuskan perusahaan menghormati HAM, dan menerapkan proses uji tuntas HAM (proses mengidentifikasi, mencegah, memitigasi dan memperhitungkan cara perusahaan mengatasi dampak buruk HAM yang aktual dan potensial),” paparnya.
Belajar dari pengalaman Uni Eropa, melalui regulasi The 2012 ‘EU Strategic Framework and Action Plan on Human Rights and Democracy’ yang menekankan komitmen untuk memajukan perlindungan HAM dalam hubungan eksternal, termasuk kebijakan perdagangan, kata Nabhan Aiqani peneliti Setara Institute lainnya menambahkan, regulasi ini menyerukan tindakan untuk memasukkan HAM ke dalam penilaian dampak, terutama perjanjian perdagangan yang mempunyai dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan.
“Dibanding dengan mengobral HGU, investor justru lebih membutuhkan kepastian prinsip HAM, keberlanjutan dan antikorupsi dalam tata kelola investasi. Karena kepastian berbisnis bukan melulu pada aspek ketersediaan lahan, tetapi sangat ditentukan oleh aspek ‘social acceptance’ atau penerimaan sosial yang mendukung operasionalisasi bisnis,” kata Nabhan.