Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta, Fusilatnews – Menggelitik apa yang disampaikan Bambang Soesatyo. Saat bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono di Jakarta, Selasa (16/7/2024), Ketua MPR RI itu mewacanakan penambahan dana bantuan pemerintah untuk partai politik sebanyak 10 kali lipat dari Rp1.000 menjadi Rp10.000 per suara sah. Tujuannya: mencegah korupsi!
Ada dua motif korupsi, yakni kebutuhan atau “corruption by need”, dan keserakahan atau “corruption by greed”.
Nah, di Indonesia mayoritas kasus korupsi motifnya adalah keserakahan. Jadi, penambahan dana bantuan parpol hingga 10 kali lipat dengan tujuan mencegah korupsi seperti yang diwacanakan Bamsoet sungguh “missleading” atau menyesatkan.
Saat ini besaran anggaran bantuan pemerintah untuk parpol adalah Rp1.000 per suara sah yang diraih dalam Pemilu Legislatif DPR RI. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
Berdasarkan PP tersebut, partai politik di tingkat pusat yang mendapatkan kursi DPR RI berhak menerima bantuan keuangan senilai Rp1.000 per suara sah.
Dengan demikian, pada tahun 2024 ini dana bantuan parpol terbesar diberikan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku jawara Pemilu 2019.
Saat itu, PDIP berhasil meraih sekitar 27,05 juta suara sah nasional, paling banyak dibanding partai lainnya. Capaian ini membuat PDIP berhak menerima bantuan senilai Rp27,05 miliar.
Dikutip dari sebuah sumber, berikut rincian partai politik yang menerima bantuan keuangan pada tahun 2024 ini, seperti dinyatakan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No.900.1.9-146 Tahun 2023:
- PDIP: Rp1.000 x 27.053.961 suara sah = Rp27,05 miliar.
- Gerindra: Rp1.000 x 17.594.839 suara sah = Rp17,59 miliar.
- Partai Golkar: Rp1.000 x 17.229.789 suara sah = Rp17,23 miliar.
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Rp1.000 x 13.570.097 suara sah = Rp13,57 miliar.
- Partai Nasdem: Rp1.000 x 12.661.792 suara sah = Rp12,66 miliar.
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS): Rp1.000 x 11.493.663 suara sah = Rp11,49 miliar.
- Partai Demokrat: Rp1.000 x 10.876.507 suara sah = Rp10,88 miliar.
- Partai Amanat Nasional (PAN): Rp1.000 x 9.572.623 suara sah = Rp9,57 miliar.
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP): Rp1.000 x 6.323.147 suara sah = Rp6,32 miliar.
Total: Rp1.000 x 126.376.418 suara sah = Rp126,38 miliar
Adapun menurut PP No 1 Tahun 2018, pemberian bantuan keuangan partai ini bertujuan untuk mendukung pendidikan politik bagi anggota partai dan masyarakat, serta mendukung operasional sekretariat partai.
Artinya, pemberian dana bantuan parpol bukan untuk mencegah korupsi seperti dinarasikan Bamsoet dan disetujui AHY.
Apalagi korupsi di Indonesia, sekali lagi, mayoritas motifnya adalah keserakahan. Lihat saja, mereka yang melakukan korupsi kebanyakan adalah orang-orang kaya, baik pejabat di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, serta pengusaha.
Dus, harta memang bak air samudera. Makin banyak diteguk justru makin membuat dahaga.
Contoh korupsi yang motifnya keserakahan adalah Syahrul Yasin Limpo. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baru-baru ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) terang-terangan menyebut motif korupsi bekas Menteri Pertanian itu adalah ketamakan. Politikus Partai Nasdem itu akhirnya divonis 10 tahun penjara, namun JPU menyatakan banding.
Lihat pula para mantan pejabat lain yang kini meringkuk di penjara karena korupsi. Mereka adalah orang-orang kaya, nyaris tak ada yang miskin.
Sebut saja bekas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menyita puluhan mobil mewah dari penguasaan politikus Partai Golkar itu.
Jadi, asumsi penambahan dana bantuan parpol demi mencegah korupsi, sekali lagi adalah “missleading” alias menyesatkan. Sebab, pengaruhnya tak signifikan, karena korupsi di Indonesia motifnya mayoritas adalah keserakahan.
Apakah kita mau menyebut Setya Novanto korupsi karena dia kekurangan biaya saat maju sebagai calon legislator dan kemudian terpilih menjadi Ketua DPR RI? Tentu tidak!
Apakah kita akan menyebut Irman Gusman kekurangan biaya saat maju sebagai calon senator dan kemudian terpilih menjadi Ketua DPD RI? Tentu tidak!
“Political Cost vs Money Politics”
Memang, biaya politik di Indonesia itu makin mahal. Hal ini pun disepakati Bamsoet dengan AHY, sehingga ia mewacankan penambahan dana bantuan parpol untuk mencegah korupsi.
Hingga kini, sudah ratusan anggota DPR RI masuk penjara gegara korupsi. Sementara di daerah-daerah, sudah sekitar 3.700 anggota DPRD masuk penjara gegara korupsi.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu juga mengakui, banyak caleg muda populer yang punya kapasitas dan integritas gagal melaju ke Senayan karena “isi tasnya kurang”.
Adapun biaya politik bisa dibagi menjadi dua komponen. Pertama adalah “political cost” atau ongkos politik. Kedua adalah “money politics” atau politik uang yang tentu saja dilarang.
Ongkos politik meliputi biaya pendaftaran, biaya kampanye, biaya cetak dan pasang alat peraga, dan biaya saksi-saksi saat pemungutan suara. Ongkos politik bisa diestimasi besarannya alias “limited” (terbatas).
Adapun politik uang meliputi mahar ke parpol dan amplop untuk serangan fajar. Politik uang ini “unlimited” alias tak terbatas.
Konsekuensi dari “high cost politics” atau politik berbiaya tinggi antara lain begitu seorang caleg terpilih maka yang langsung terpikir di benak mereka adalah bagaimana caranya supaya bisa balik modal dalam waktu lima tahun. Kalau mengandalkan gaji, jelas tidak mungkin.
Jika sudah balik modal, pikiran berikutnya adalah bagaimana cari modal baru untuk pemilu berikutnya. Akhirnya segala cara dihalalkan, termasuk korupsi.
Sebab itu, wacana penambahan dana bantuan parpol masuk akal. Tapi itu tidak signifikan pengaruhnya. Bahkan bisa “missleading” karena motif korupsi di Indonesia mayoritas bukan kebutuhan.
Maka yang sesungguhnya harus diperangi adalah “money politics”. Tapi mana bisa? Rakyat sekarang sudah tidak lugu-lugu amat. Sebab, tak sedikit caleg yang lupa akan janji kampanyenya. Sebab itu, setiap menjelang pemilu, saat itulah kesempatan bagi rakyat memalak calon wakil rakyat. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Bahkan ada rakyat yang vulgar dengan memasang spanduk: di sini menerima serangan fajar.
Akhirnya, tercipta lingkaran setan korupsi. Rakyat memalak calon wakil rakyat. Wakil rakyat melakukan korupsi anggaran yang notabene uang rakyat. Uang hasil korupsi wakil rakyat diberikan sebagian kepada rakyat. Begitu seterusnya.