Oleh: Entang Sastroatmadja-Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Bulog adalah sahabat sejati petani. Lahir dan dibentuk untuk membela serta melindungi petani, Bulog sejatinya adalah representasi niat tulus Pemerintah untuk berpihak kepada mereka yang berada di hulu rantai pangan nasional. Kedekatan Bulog dengan petani menggambarkan ikhtiar negara dalam memastikan bahwa kesejahteraan petani bukan sekadar wacana, tetapi benar-benar diusahakan.
Menghadapi musim panen padi tahun ini, Pemerintah memberi mandat kepada Perum Bulog sebagai operator utama pangan nasional untuk menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya. Targetnya cukup ambisius: 2–3 juta ton setara beras. Dalam pelaksanaannya, Bulog menggandeng perusahaan penggilingan padi untuk merealisasikan target tersebut.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintah menyempurnakan kebijakan penyerapan gabah. Kini, petani bebas menjual gabah hasil panen tanpa dibebani persyaratan kadar air atau kadar hampa tertentu. Terobosan ini membuat petani ramai-ramai memilih menjual gabahnya ke Bulog.
Mengapa? Karena Bulog diwajibkan membeli gabah dengan harga Rp6.500 per kilogram, tanpa memandang kualitasnya. Sebelumnya, harga ini hanya berlaku untuk gabah dengan kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%. Tapi kini, syarat itu dihapus. Gabah dengan kadar air tinggi sekalipun tetap dihargai sama. Ini membuat petani merasa dilindungi dari permainan harga oleh para tengkulak atau oknum pasar.
Tak heran, wajah-wajah petani kini terlihat lebih cerah. Mereka tak perlu lagi bersusah payah mengeringkan atau membersihkan gabah hingga memenuhi standar tertentu. Cukup panen dan jual. Harga pun tetap bersaing.
Namun, di balik senyum petani, Bulog menghadapi tantangan yang tidak ringan. Penyerapan gabah yang masif menciptakan lonjakan stok di gudang-gudang Bulog. Kapasitas penyimpanan terbatas. Penambahan tenaga kerja dan fasilitas menjadi keharusan. Apalagi, kualitas gabah yang “apa adanya” berpotensi menurunkan mutu beras, meningkatkan biaya pengolahan, dan mengganggu stabilitas penyimpanan karena kadar air yang tinggi.
Ada tiga tantangan utama dari kebijakan ini. Pertama, soal kualitas gabah yang tidak seragam. Kedua, pengolahan yang jadi lebih mahal karena perlu perlakuan khusus. Ketiga, risiko penyimpanan akibat tingginya kadar air dan hampa.
Menyikapi itu, Bulog perlu mengadopsi empat strategi utama:
- Pengembangan Infrastruktur: Pemerintah harus mendukung pembangunan fasilitas penyimpanan dan pengolahan yang lebih modern dan memadai.
- Penggunaan Teknologi: Perlu teknologi untuk meningkatkan efisiensi pengolahan dan menjaga mutu gabah serta beras.
- Kemitraan Strategis dengan Petani: Bulog perlu terus membina kerja sama dengan petani untuk meningkatkan kualitas produksi secara menyeluruh.
- Sistem Penjaminan Mutu: Harus dibangun sistem pengendalian mutu agar kualitas beras yang dihasilkan tetap terjaga, meski berasal dari gabah kualitas campuran.
Pernyataan Menteri Pertanian bahwa hingga Mei 2025 cadangan beras pemerintah mencapai 3,3 juta ton adalah bukti keberhasilan kebijakan ini. Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari kontribusi Bulog dan kepercayaan petani untuk menjual hasil panennya kepada negara, bukan lagi kepada tengkulak.
Kebijakan satu harga ini telah menumbuhkan kembali kepercayaan petani terhadap Bulog. Apa yang dulu dianggap utopia, kini terbukti: petani tidak lagi alergi menjual ke Bulog, karena mereka merasa dilibatkan dan dilindungi.
Inilah momen penting. Persahabatan Bulog dan petani harus dijaga dan diperkuat. Karena, ketika Bulog sukses menjalankan perannya, petani pun ikut sejahtera. Maka, tak berlebihan jika kita tegaskan: Bulog yang kuat, petani yang merdeka.