OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Produksi gabah atau beras dalam negeri saat ini dipastilan melimpah, karena tak lama lagi terjadi panen raya di semua wilayah Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk menyerap beras dalam negeri sebanyak-banyaknya dengan harga sebesar Rp. 6500,- agar serapanya optimal di saat musim panen awal 2025 ini. Mengapa hal ini penting untuk diingatkan ?
Sebab kita tahu, Bulog selaku BUMN bisa saja memerankan diri sebagai offtaker, sehingga target penyerapan beras untuk Cadangan Beras Pemerintah setara 3 juta ton beras sampai dengan bulan Mei ini dapat tercapai. Momen ini jangan sampai hilang, karena musim panen raya akan berlangsung di mana-mana.
Apa yang sering disampailan beberapa Anggota Komisi IV DPR RI ini cukup menarik untuk dicermati. Bukan saja karena selama ini BULOG terjebak ke dalam status sebagai BUMN, namun jika dikaitkan dengan kinerjanya sendiri, BULOG seperti kesusahan untuk memerankan diri sebagai lembaga parastatal yang handal dan profesional.
Itu sebabnya, dalam setiap panen raya padi, BULOG seringkali kalah bersaing dengan para bandar atau tengkulak dalam membeli hasil panen petani, yang jelas-jelas di lapangan berkiprah lebih lincah dan tanpa beban. Bandar atau tengkulak, boleh-boleh saja membeli gabah atau beras dari petani dengan harga yang cukup tinggi diàtas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Namun BULOG, sepertinya tidak mungkin untuk meniru apa yang ditempuh para bandar dan tengkulak. Sekalinya keluar pakem, BULOG tentu harus berhadapan dengan audit internal atau bahkan dengan Badan Pemeriksa Keuangan itu sendiri. Bagi petani sendiri, jelas mereka akan menjual hasil panennya kepada bandar atau tengkulak, karena berani membeli gabah atau beras dengan tingkat harga yang lebih menguntungkan para petani.
Dihadapkan pada kondisi seperti ini, muncul pertanyaan apakah dengan statusnya selaku BUMN akan mampu bersaing dengan para bandar dan tengkulak dalam membeli hasil panen para petani ? Tanpa memperbaiki regulasi yang selama ini ada, apakah BULOG memiliki hak untuk membeli harga gabah atau beras dari petani dengan memasang harga yang bersaing dengan para tengkulak atau bañdar ?
Rasanya, dengan statusnya sebagai BUMN, susah bagi BULOG untuk “melawan” bandar atau tengkulak dalam hal membeli hasil panen petani. Pengalaman beberapa tahun lalu saja, menunjukkan betapa sulitnya meningkatkan cadangan beras Pemerintah dari hasil panen para petani di dalam negeri. Padahal, bila kita sitir apa yang disampaikan Menteri Pertanian sendiri, mengacu kepada data BPS, produksi padi awal tahun ini cukup tinggi dan beras bakal melimpah ruah.
Pemerintah sendiri telah memproyeksikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan adanya kenaikan produksi beras di awal 2025 yang melebihi periode yang sama di 2024. Estimasi produksi beras di Januari 2025 dilaporkan bisa mencapai 1,2 juta ton dan Februari 2025 bisa 2,08 juta ton.
Angka tersebut jika dibandingkan dengan Januari dan Februari 2024 yang ada di angka 0,87 juta ton dan 1,39 juta ton, memperlihatkan adanya surplus sejumlah 1,02 juta ton. Dari itu, perkiraan terjadinya panen raya beras dapat dimulai pada akhir Februari sampai Mei mendatang. Hanya patut dicatat, ceritanya akan jadi lain, bila iklim dan cuaca tidak berpihak ke sektor pertanian.
Tantangannya adalah apakah dalam menghadapi panen raya padi yang ditengarai puncaknya terjadi di bulan Maret hingga April ini, BULOG akan belajar banyak dari kekurangan dan kelemahannya selama ini ? Apakah BULOG sudah menyiapkan langkah pembenahan dalam mewujudkan Tata Kelola Pengadaan Beras yang lebih terukur dan semakin berkualitas ?
Kita percaya BULOG telah berbenah diri dalam menyambut tibanya panen raya padi beberapa waktu ke depan. BULOG tentu telah menyusun sebuah desain perencanaan yang lebih kreatif dan inovatif serta tidak sekedar menggugurkan kewajiban semata. BULOG pasti telah membangun sinergi dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan di sektor pergabahan dan perberasan itu sendiri. Bahkan ikon BULOG SAHABAT PETANI pun ada baiknya kembali kita gaungkan.
Sejak masih diberlakukannya harga dasar dan harga atap, ditopang oleh keberadaan BULOG sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian, hubungan harmonis antara petani dengan BULOG terjalin cukup baik. Di mata petani, BULOG dianggap sebagai sahabat tanpa sekat. Jika harga jual di petani anjlog di bawah harga dasar, maka BULOG akan membeli beras petani pada tingkat harga dasar tersebut.
Suasana ini tidak terjadi lagi setelah Pemerintah menghapus kebijakan harga dasar dan harga atap dan menggantinya dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Dengan kebijakan ini, tidak ada lagi tanggungjawab Pemerintah untuk membeli gabah atau beras pada tingkat HPP bila harga yang terjadi dibawah HPP. Untung selama ini harga pasar selalu berada diatas HPP.
Bayangkan, kalau harga di tingkat petani berada di bawah HPP, siapa yang akan melindungi dan membela para petani padi itu sendiri ? Namun begitu, muncul pula pertanyaan, mengapa Pemerintah seperti yang enggan menaikan HPP Gabah ke angka yang lebih menguntungkan petani dalam beberapa tahun belakangan ini ? Apakah di tahun-tahun mendatang ada keinginan untuk menaikan HPP Gabah ?
Dari sisi kemauan politik, sinyal ke arah itu tampak sudah berkelap-kelip. Badan Pangan Nasional terlihat sudah menggelar beberapa pertemuan terkait dengan HPP berbagai jenis komoditas pangan. Justru yang penting kita kritisi adalah apakah kemauan politik untuk meninjau ulang HPP diatas, bakal dilanjutkan ke sisi tindakan politiknya atau tidak ? Ya, kita nantikan bersama.
Kini selintas sudah tergambarkan, bagaimana kondisi panen raya padi yang diprediksi bakal melimpah ruah. BULOG sebagai BUMN tentu akan mengalami kesulitan dalam membeli hasil panen petani. Lain cerita jika BULOG dijadikan alat negara untuk selalu membela petani disaat harga jual di petani “dipermainkan” oleh para bandar atau tengkulak. Kita optimis, Pemerintah bakal melakukan kaji ulang atas masalah yang ada. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).