Tentang Penulis
Rikio Suma adalah penulis dan pengamat budaya Jepang yang dikenal karena kemampuannya menjembatani nilai-nilai tradisional Jepang dengan tantangan zaman modern. Ia kerap menyoroti peran etika, sejarah, dan kepemimpinan dalam membentuk arah bangsa. Esai-esainya menyajikan refleksi tajam namun humanis, mengajak pembaca untuk melihat ulang makna kemajuan dari perspektif nilai dan karakter.
Di masa ketika imperialisme Barat membelah dunia ke dalam koloni-koloni, Jepang menghadapi krisis eksistensial. Negara kecil di Asia Timur itu dihadapkan pada dilema: tunduk pada dominasi asing atau melawan arus dengan membangun kekuatan nasionalnya sendiri. Sejarah mencatat bahwa Jepang memilih jalan kedua. Dan jika kita menelusuri akar dari lompatan peradaban Jepang, satu nama terus bergema di ruang-ruang diskusi: Eiichi Shibusawa.
Shibusawa bukan panglima perang, bukan pula perdana menteri. Ia adalah pebisnis dan pemikir ekonomi yang memperkenalkan etika samurai ke dalam dunia dagang. Baginya, moral dan keuntungan bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dapat disatukan dalam prinsip yang disebut gapponshugi — suatu konsep yang menjembatani kepentingan ekonomi dan kepedulian sosial. Shibusawa tak hanya bicara tentang cara berbisnis, ia membentuk fondasi spiritual dari industrialisasi Jepang.
Warisan pemikirannya tak lekang oleh waktu. Delapan dekade setelah Jepang dikalahkan Amerika dalam Perang Pasifik, prinsip Shibusawa kembali menemukan relevansinya. Kekalahan mutlak di tahun 1945 bukan hanya soal kehancuran fisik — hancurnya pabrik, rumah, infrastruktur — tetapi juga psikologis: sebuah bangsa yang kehilangan orientasi. Namun dari tanah yang hangus dan masyarakat yang lapar, bangkitlah keajaiban yang tak masuk akal di atas kertas.
Yang menggerakkan kebangkitan itu bukan hanya pemerintah atau lembaga besar, tapi juga para pelaku bisnis kecil dan menengah — mereka yang mewarisi pola pikir Shibusawa. Mereka yang percaya bahwa bisnis bukan semata alat akumulasi modal, melainkan jalan untuk memulihkan martabat dan kemanusiaan.
Salah satu contoh paling menyentuh datang dari toko kimono Okadaya. Didirikan pada akhir abad ke-18, toko ini terpaksa tutup selama perang. Namun hanya setahun setelah kekalahan Jepang, Okadaya kembali membuka tokonya. Tindakan kecil itu mengguncang batin seorang pelanggan, yang datang dengan brosur promosi dan menangis saat melihat pintu toko terbuka. “Akhirnya perdamaian telah datang,” katanya.
Di balik peristiwa sepele ini, tersembunyi filosofi besar. Manajer Okadaya menyadari: ritel bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan simbol stabilitas dan harmoni sosial. Dari kesadaran itulah lahir doktrin perusahaan: “Ritel adalah industri yang mempromosikan perdamaian.” Dan dari Okadaya, lahirlah AEON Co., Ltd. — konglomerasi ritel yang kini memiliki lebih dari 19.000 toko di 11 negara, namun tetap menjunjung prinsip awalnya: “Mengejar perdamaian, menghormati manusia, dan berkontribusi terhadap masyarakat lokal.”
AEON bukan hanya perusahaan ritel. Ia adalah manifestasi dari etos yang diwariskan Shibusawa: bahwa membangun bangsa tak cukup hanya dengan senjata dan kebijakan, tetapi juga dengan semangat melayani dan keyakinan bahwa setiap orang, sekecil apa pun perannya, dapat menjadi agen perubahan.
Kini, ketika dunia kembali bergejolak, dan ketika banyak bangsa tergoda oleh jalan pintas populisme dan kekuatan koersif, kisah Jepang pascaperang memberi pelajaran yang jernih: bahwa dari reruntuhan pun, dengan prinsip dan ketekunan, keajaiban bisa diciptakan.
Dan semua itu dimulai dari satu keyakinan sederhana: bisnis harus punya jiwa.