“Prabowo hanya akan dua tahun menjabat.”Kalimat itu pernah diucapkan Rosan Roeslani kepada Conny, dan hingga kini masih bergaung sebagai semacam teka-teki politik. Sebuah bisikan yang semula dianggap angin lalu, kini kembali terasa relevan ketika gelombang keresahan rakyat makin sulit dibendung. Rangkaian kebijakan kontroversial, dari PPN 12% hingga polemik nikel dan pemblokiran rekening, seakan menyusun jalan menuju sebuah panggung besar: transisi kekuasaan yang penuh kegaduhan
Aksi massa pada 28 Agustus 2025 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah kulminasi dari serangkaian kebijakan kontroversial yang menumpuk, membebani, dan memicu kemarahan rakyat. Jika ditarik ke belakang, kita bisa menemukan pola yang sama: kebijakan-kebijakan yang tidak matang, penuh keganjilan, dan mengundang polemik, seolah-olah memang sengaja diarahkan untuk menciptakan keresahan sosial.
Lihatlah rentetannya. Pertama, kebijakan PPN 12% yang berlaku sejak Januari. Beban baru ini langsung menghantam daya beli masyarakat. Kedua, polemik premium oplosan dan tabung gas elpiji yang membahayakan rakyat kecil tetapi seakan-akan tidak ada penanggung jawab. Ketiga, kasus tambang nikel di Raja Ampat yang menyingkap kerakusan pada sumber daya alam tanpa memperhitungkan kelestarian. Keempat, isu pulau-pulau di Aceh dan Sumatera Utara yang menimbulkan keresahan soal kedaulatan. Kelima, kebijakan pemblokiran rekening, pajak atas rumah kosong lebih dari dua tahun, hingga negara ikut campur atas tanah nganggur—semua menambah daftar panjang kontroversi. Dan jangan lupa, perintah presiden untuk membongkar pagar laut yang kemudian dianulir, menambah kesan pemerintah tak punya arah jelas.
Kesamaan dari semua ini? Mereka lahir dari lingkar kebijakan yang sama: sekelompok elit pembuat aturan yang tidak punya sensitivitas pada penderitaan rakyat, bahkan terkesan sengaja melempar isu demi isu untuk menguji reaksi publik. Rata-rata dalam sebulan, muncul dua hingga tiga kebijakan yang menimbulkan kemarahan baru. Rakyat dibuat lelah, terprovokasi, dan dipaksa menerima absurditas sebagai hal biasa.
Puncaknya, ketika percobaan itu digeser ke daerah. Pati dijadikan laboratorium kebijakan. Dana transfer daerah berkurang, pejabat dipaksa meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak. Hasilnya bisa ditebak: kemarahan rakyat meledak, bukan hanya di Pati, tapi menjalar ke kota-kota lain.
Sejak 20 Agustus, akun-akun buzzer mulai meniupkan wacana adanya aksi besar pada 25 Agustus. Namun anehnya, hingga sehari sebelum rencana aksi, tak jelas siapa penanggung jawab lapangannya. Baru pada 24 Agustus sore, surat-surat dari aliansi mahasiswa muncul, seakan-akan menambal kekosongan itu. Situasi makin keruh karena infiltrasi intel yang menyamar dengan jaket ojol, memprovokasi bentrokan, bahkan memancing masyarakat agar tersulut emosi.
Dan benar, 28 Agustus menjadi titik ledak. Satu driver ojol, Alvan Kurniawan, tewas tragis akibat kendaraan taktis Brimob yang menabraknya. Peristiwa itu segera dikenang sebagai bukti nyata pelanggaran HAM yang tak bisa ditutup-tutupi. Dalam setiap rezim otoritarian, darah rakyat kerap menjadi “syarat” agar sebuah gerakan dianggap nyata. Sayangnya, skenario itu tampak berulang di negeri ini.
Di tengah semua itu, publik masih mengingat “jatah dua tahun” yang disebut-sebut saat pelantikan. Bahwa kekuasaan Prabowo bukanlah untuk lima tahun penuh, melainkan hanya dua tahun pertama. Setelahnya, akan ada figur lain yang mengambil alih. Jika benar demikian, maka rentetan kebijakan ngawur dan aksi represif ini hanya bagian dari panggung besar: menggiring bangsa ke arah transisi yang penuh kekacauan.
Demo 28 Agustus adalah alarm keras. Ia bukan sekadar letupan kemarahan spontan, melainkan hasil akumulasi rasa frustasi rakyat terhadap pemerintahan yang abai. Pertanyaan tentang “siapa dalang” mungkin tak segera terjawab. Tetapi jelas, rakyat sudah tidak bisa lagi dibohongi dengan eksperimen kebijakan yang menjadikan mereka sekadar objek uji coba.























