Jakarta – Fusilatnews – Maraknya praktik pungutan liar terhadap aktivitas industri di Indonesia membuat sejumlah investor merasa tidak nyaman dalam menjalankan bisnisnya, tak terkecuali sektor ritel.
Terbaru, jaringan ritel asal Korea Selatan, GS Supermarket, memutuskan untuk menutup seluruh gerainya di Indonesia pada akhir Mei 2025. Kabar ini telah dikonfirmasi oleh Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah.
“Iya, memang benar. Mereka adalah anggota kami dan kami sudah menerima informasinya. Penutupannya dijadwalkan pada 31 Mei, perusahaannya di Indonesia akan berhenti beroperasi,” ujar Budihardjo saat dikonfirmasi, Rabu (7/5), seperti dikutip dari detik.com.
Budihardjo menilai, penutupan ini kemungkinan besar disebabkan oleh kecilnya cakupan pasar GS Supermarket di Indonesia. Saat ini, jaringan tersebut hanya memiliki sekitar 9 hingga 10 gerai, yang dinilai belum mampu menjangkau pasar secara luas.
“Cabangnya memang tidak banyak, sekitar 9 atau 10 gerai saja. Jadi dari sisi market, mereka tergolong kecil,” jelasnya.
Ia menambahkan, seluruh gerai bekas GS Supermarket kemungkinan besar akan diambil alih oleh jaringan ritel lain yang masih aktif. Namun, Budihardjo belum dapat memastikan pihak mana yang akan mengambil alih operasional gerai-gerai tersebut.
“Saya dengar-dengar memang akan ada yang ambil alih, tapi belum bisa dipastikan oleh siapa. Biasanya dalam dunia ritel, jika ada yang tutup, gerainya akan diisi brand lain. Itu sudah hal yang lumrah,” katanya.
Ia mencontohkan, ketika Giant tutup beberapa waktu lalu, gerai-gerainya kemudian diambil alih oleh jaringan ritel lain seperti Hypermart. “Jadi wajar kalau sekarang giliran GS. Di lapangan pasti akan ada diskusi-diskusi antarperitel,” tambahnya.
Lulu Hypermarket Juga Tutup
Penutupan GS Supermarket bukan satu-satunya kasus hengkangnya ritel asing dari pasar Indonesia. Sebelumnya, Lulu Hypermarket juga memutuskan untuk menutup operasionalnya.
Budihardjo menjelaskan, tantangan yang dihadapi sektor ritel asing di Indonesia cukup kompleks. Mulai dari kesulitan dalam memperoleh barang dagangan, prosedur perizinan yang rumit, hingga adanya praktik premanisme oleh oknum tertentu.
“Lulu juga tutup, kalau nggak salah. Saya sudah sering menyampaikan bahwa sektor ritel di Indonesia harus didukung oleh kemudahan dalam mendapatkan barang, baik impor maupun lokal, yang penting pajaknya dibayar. Perizinan juga harus dipermudah,” katanya.
“Jadi memang ada berbagai kesulitan di sektor ini, mulai dari aspek logistik, regulasi, hingga gangguan premanisme. Semua itu bisa membuat para pelaku usaha kelelahan dan akhirnya memilih mundur,” lanjut Budihardjo.
Masih Ada Harapan di Tengah Penutupan
Meski sejumlah ritel asing memutuskan angkat kaki dari Indonesia, Budihardjo masih melihat adanya prospek cerah dalam industri ini. Ia mengklaim bahwa sejumlah peritel lokal dan asing lainnya justru membuka gerai baru sebagai bagian dari ekspansi.
“Kalau ditanya kondisi ritel sekarang, saya masih optimis. Memang ada yang tutup, tapi juga ada yang membuka gerai baru. Mungkin perlu ada penyesuaian konsep agar lebih sesuai dengan perilaku konsumen masa kini, serta perbaikan dari sisi kebijakan,” pungkasnya.