Pujian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terhadap Didit Hediprasetyo, putra Presiden Prabowo Subianto, dalam momen silaturahmi Lebaran 2025 bukan sekadar apresiasi biasa. Ada makna politik yang lebih dalam di baliknya. Didit, yang selama ini lebih dikenal sebagai desainer ketimbang tokoh politik, tiba-tiba menjadi sorotan karena kemampuannya merangkul berbagai tokoh besar. Hal ini menandai pertemuan dua kepentingan politik besar yang selama ini tampak berseberangan: kubu Jokowi dan kubu Prabowo.
Silaturahmi yang Sarat Makna
Didit Prabowo bukanlah sosok yang biasa muncul dalam perbincangan politik nasional. Sebagai desainer yang lebih banyak berkarya di luar negeri, ia tampak menjauh dari dinamika politik ayahnya. Namun, pujian yang dilontarkan oleh Gibran menunjukkan bahwa kehadirannya kini mulai diperhitungkan. Dalam konteks politik Indonesia, sebuah pertemuan atau silaturahmi bukanlah sekadar ajang ramah tamah, melainkan sarana untuk membangun komunikasi dan negosiasi kepentingan.
Kunjungan Didit ke berbagai tokoh besar dalam momen Lebaran bisa dilihat sebagai langkah untuk membangun jejaring lintas faksi. Ini adalah sinyal bahwa Prabowo, melalui putranya, ingin menunjukkan keterbukaan terhadap berbagai kelompok yang selama ini memiliki perbedaan kepentingan. Gibran, sebagai bagian dari dinasti politik Jokowi, tampaknya juga ingin menunjukkan bahwa hubungan kedua kubu tetap harmonis, meski dinamika politik dalam pemerintahan tidak selalu sejalan.
Dua Kubu, Satu Kepentingan?
Kehadiran Didit sebagai tokoh yang diterima di semua kalangan dapat dibaca dalam beberapa lapisan makna. Pertama, ini bisa menjadi bagian dari strategi kubu Prabowo untuk memperkenalkan figur baru dalam dunia politik, yang lebih diterima oleh kelompok-kelompok yang selama ini skeptis terhadapnya. Didit, yang selama ini tidak memiliki rekam jejak kontroversial dalam politik, dapat menjadi wajah baru yang lebih netral dan dapat menjembatani berbagai kepentingan.
Kedua, pujian dari Gibran dapat dilihat sebagai upaya menjaga hubungan antara kubu Jokowi dan Prabowo tetap harmonis, terutama menjelang berbagai dinamika politik di masa mendatang, seperti Pilkada 2025 atau bahkan persiapan menuju Pemilu 2029. Jika Didit benar-benar akan diarahkan ke dunia politik, ia bisa menjadi figur yang diterima oleh kedua belah pihak.
Ketiga, ini bisa menjadi sinyal bahwa ada negosiasi politik yang lebih besar di balik layar. Kunjungan Didit ke tokoh-tokoh besar dalam momen Lebaran bisa jadi bukan sekadar ajang silaturahmi, melainkan bagian dari strategi politik yang lebih luas. Dalam politik Indonesia, pertemuan-pertemuan semacam ini sering kali menjadi langkah awal dari kesepakatan-kesepakatan besar.
Didit: Penerus atau Simbol Netral?
Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah Didit akan benar-benar masuk ke dunia politik, atau hanya dijadikan simbol untuk menjaga keseimbangan kepentingan di antara dua kubu besar ini? Jika Didit mulai diperkenalkan ke publik sebagai tokoh yang diterima di semua kalangan, maka ada kemungkinan ia akan dipersiapkan untuk peran yang lebih besar dalam politik nasional.
Namun, ada juga kemungkinan bahwa kehadiran Didit hanya sebagai simbol netral, seseorang yang bisa diterima tanpa membawa beban politik masa lalu. Ini bisa menjadi strategi kubu Prabowo untuk menunjukkan bahwa kepemimpinannya tidak eksklusif dan bisa merangkul semua pihak, sekaligus menjaga keseimbangan politik dalam pemerintahan yang masih dipengaruhi oleh warisan Jokowi.
Kesimpulan
Pujian Gibran terhadap Didit Prabowo bukanlah sekadar penghargaan atas etika silaturahmi, melainkan bagian dari dinamika politik yang lebih luas. Ini menunjukkan bahwa dua kubu besar dalam politik Indonesia—Jokowi dan Prabowo—sedang mencari titik temu dalam kepentingan mereka. Apakah ini akan menjadi awal dari strategi politik baru atau sekadar gestur diplomatis? Waktu yang akan menjawab. Yang jelas, Didit kini telah menjadi bagian dari percaturan politik nasional, baik ia menginginkannya atau tidak.
























