Oleh Dr. Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung
Sekitar dua minggu yang lalu para kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) akan mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi menjabat tiga periode setelah lebaran. Dukungan Apdesi kepada Jokowi untuk menjabat tiga periode dinilai banyak pihak oleh banyak pihak dinilai karena ketidakpahaman terhadap konstitusi yang menegaskan bahwa masa jabatan presiden berdasarkan UUD 1945 dibatasi hanya dua periode. Adanya penggalangan dukungan dari elite tingkat bawah itu mengindikasikan bahwa masih ada pihak yang masih mengasumsikan bahwa kepala desa sebagai basis sumber dukungan di masyarakat bawah. Kepala desa masih diposisikan sebagai simbol masa dan memiliki pengaruh yang kuat dalam melakukan pencarian dukungan. Padahal, pasca-pemerintahan Orde Baru, desa dan kepala desa sudah banyak mengalami perubahan.
Betul, di era Orde Baru kepala desa menjadi penguasa tunggal atau terjadi kekuasaan yang memusat. Ada pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa, semua perintah, intruksi, kebijakan dan berbagai ditentukan oleh kepala desa dan nayaris tidak bisa dikontrol. Kalau pun ada ada BPD atau institusi kontrol yang lain, cenderung tidak berdaya dan tidak memiliki pengaruh politik yang kuat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dalam perspektif kekuasaan yang tidak terpencar kepada kekuatan masyarakat dan institusi lain, maka kekuasaan kepala desa menjelma menjadi otoritarian dan mampu mengendalikan kekuasaan dan memobilisasi rakyat untuk kepentingan rezim yang berkuasa. Cara pandang ini yang diasumsikan kepala desa masih dipahami sebagai simbol dan cara yang ampuh memanfaatkan kekuasaannya yang bisa menggiring rakyatnya dalam mendukung Jokowi menjabat tiga periode.
Pasca-Orde Baru, fenomena kekuasaan di desa sudah mulai menyebar. Pengaruh demokrastisasi berdampak pada munculnya ruang kebebasan dan keberanian rakyat untuk mengontrol kekuasaan. Tidak sedikit masyarakat di desa melakukan pengaduan dan menjebloskan kepala desa yang korup untuk diproses secara hukum.
Selain itu, adanya pengaruh teknologi informasi, pemanfaatan media sosial, dan banyaknya masyarakat desa menggunakan HP berakibat arus informasi politik begitu mudah diakses oleh masyarakat desa. Jumlah masyarakat desa yang mengenyam pendidikan pada jenjang SLTA dan S1 juga sudah mulai banyak sehingga cenderung dalam menentukan pilihan politiknya lebih mandiri atau otonom.
Masyarakat desa juga sudah terbiasa berkali-kali terlibat sebagai pemilih dalam pemilihan bupati, gubernur, pemilu dan pemilihan presiden. Jadi, dalam suasana masyarakat desa seperti tersebut, dampaknya kekuasaan kepala desa tidak lagi bisa mendikte, atau bisa mengendalikan rakyatnya. Kepala desa sekarang memiliki kekuasaan yang dibatasi berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, bersifat administratif, bisa dikontrol oleh masyarakaat, dan tidak bisa lagi memaksakan kekuasaannya untuk mempengaruhi dan mengendalikan rakyatnya.
Dengan demikian, argumen apa yang dijadikan dasar dan pembenaran kepala desa melakukan kebulatan tekad untuk Jokowi menjabat tiga periode?
Demokrasi Kualitas Rendah?
Fenomena rencana para kepala desa melakukan kebulatan tekad untuk Jokowi menjabat tiga periode hanyalah salah satu bagian bentuk pencerminan demokrasi dalam kualitas yang sangat rendah.
Menurut Diamond (2006) sejumlah negara yang mengadakan pemilihan secara demokratis cenderung mulai menurun dan pelan-pelan stagnan. Hampir setiap kasus terlihat kualitas persaingan politik terdegradasi di bawah standar minimal demokrasi.
Kebulatan tekad, keinginan melakukan penundaan pemilu dan presiden tiga periode, jelas bertentangan dengan logika demokrasi. Tidak ada situasi krisis, keadaan darurat atau alasan apapun yang dijadikan argumen untuk melakukan kegiatan politik yang tidak sejalan dengan UU.
Paham demokrasi mengharuskan ketaatan terhadap hukum. Apabila presiden dibatasi masa jabatannya hanya dua periode, atau pemilu menurut aturan resminya secara reguler dilakukan lima tahun sekali, maka tidak ada pilihan lain semua pelaku politik harus mengikuti aturan tersebut.
Hanya karena alasan ambisi politik partai tertentu atau kepentingan rezim untuk memaksakan kepentingannya, kemudian melakukan rekayasa dengan berbagai cara, seperti kebulatan tekad, survei, alasan keberlanjutan pembangunan atau melakukan pembenaran akademis oleh pakar dan akademisi.
Membiarkan perilaku politik demikian adalah bagian dari proses pembusukan politik . Pembusukan politik itu bisa melemahkan pemerintahan. Salah satu faktor pembusukan berasal dari kalangan elite yang tak lagi memperhatikan kepentingan konstitutional dan lebih mengutamakan kelompok tertentu. Konstitusi dan akuntabilitas dilanggar untuk memuluskan akal bulus segelintir elite yang memiliki ambisi politik yang tersembunyi.
Jadi, sekali lagi, kebulatan tekad yang akan dilakukan oleh Apdesi untuk Jokowi tiga periode atau hasil – hasil survei yang menyatakan rakyat setuju jabatan presiden tiga periode adalah tidak layak untuk dilakukan dan melanggar kesepakatan konstitusi serta akan merusat proses demokrasi di negeri ini.
Kebulatan tekad atau deklarasi dan survei yang tidak sejalan dengan kesepakatan konstitusi adalah jelas jelas tidak memiliki moral politik untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Pers, pegiat kampus, pegiat media sosial, dan kelompok kritis lainya serta partai politik yang konsisten menjaga ketaatan terhadap kesepakatan konstitusi harus terus menerus didorong untuk melakukan perlawanan terhadap ambisi partai tertentu atau kelompok oligarchi yang sedang mencari keuntungan ekonomi dan politik.***
Sumber : Teras Lampung