Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, tentang pertumbuhan ekonomi di era Presiden Joko Widodo menekankan stabilitas ekonomi yang dicapai. Hartarto berargumen bahwa meski menghadapi tantangan global seperti pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif baik dan mampu mencapai rata-rata sekitar 5% per tahun. Namun, angka ini sebenarnya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai target yang diharapkan, karena angka tersebut konsisten di bawah harapan setiap tahunnya.
Fakta bahwa pertumbuhan ekonomi berada di sekitar 5% menunjukkan adanya ketidakmampuan untuk mendorong ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi, seperti yang dicapai pada era kepemimpinan sebelumnya. Jika dibandingkan dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7%, bahkan di era Soeharto pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai 7%. Ini mengindikasikan bahwa dua periode pemerintahan Jokowi tidak berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi seperti yang diinginkan.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Didin S. Damanhuri, dalam seminar nasional ‘Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi adalah yang paling rendah dibandingkan era kepemimpinan sebelumnya. Prof. Didin menyatakan bahwa meski pertumbuhan ekonomi 5% tampak kompetitif dibanding negara lain, terutama selama pandemi, jumlah ini tidak cukup mengingat potensi besar Indonesia yang memiliki tenaga kerja berlimpah. Menurutnya, tenaga kerja yang melimpah harusnya mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari 5%, tetapi kenyataannya hal itu tidak tercapai.
Lebih jauh, Prof. Didin juga mengkritik arah kebijakan ekonomi yang sangat berorientasi pada peningkatan Gross Domestic Product (GDP), khususnya dengan fokus besar pada pembangunan infrastruktur. Meskipun pembangunan infrastruktur masif dilakukan, dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dinilai tidak signifikan. Selain itu, sistem politik dan biaya ekonomi yang tinggi memperparah ketimpangan antar golongan pendapatan, antar wilayah, serta antar sektor ekonomi.
Tantangan ini semakin diperburuk dengan adanya kesenjangan yang makin lebar antara kelompok kaya dan miskin. Kekayaan dan modal masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu, dan investasi yang ada tidak mampu mendorong penciptaan lapangan kerja yang memadai. Situasi ini, menurut Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, mengkhawatirkan karena bisa memperpanjang perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap) yang dialami Indonesia. Menjelang akhir pemerintahan Jokowi, tantangan ini menjadi catatan penting dalam mengevaluasi kinerja ekonomi.
Selain itu, kritik terhadap pertumbuhan ekonomi juga menyoroti pertanian dan industri, yang merupakan sektor vital dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian rata-rata di era Jokowi hanya sebesar 2,85%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan era SBY yang mencapai 4,8%. Ini menunjukkan bahwa meski sektor ini penting, ia tidak mendapatkan perhatian dan pengembangan yang optimal di era Jokowi.
Salah satu masalah fundamental dari pendekatan kebijakan ekonomi Jokowi adalah kurangnya keterlibatan pengusaha kecil dan menengah, serta minimnya keberpihakan pada pengusaha pribumi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo), Jose Rizal, menekankan bahwa selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, pengusaha pribumi merasa terpinggirkan, dengan kebijakan yang lebih menguntungkan pengusaha besar. Jose Rizal juga menyarankan agar pemerintah berikutnya lebih membuka peluang bagi pengusaha kecil dan menengah yang telah terbukti tangguh dalam menghadapi berbagai krisis.
Evaluasi Kritis: Stabilitas yang Rapuh
Secara keseluruhan, pernyataan Menko Airlangga Hartarto tentang stabilitas ekonomi di era Jokowi memang benar dari segi angka rata-rata pertumbuhan, namun gagal mencerminkan realitas yang lebih kompleks. Pertumbuhan ekonomi yang stabil namun tidak memenuhi target menunjukkan adanya masalah struktural dalam kebijakan ekonomi, yang berdampak pada sektor-sektor kunci seperti pertanian, industri, dan ketimpangan sosial. Di sisi lain, pandangan ekonom senior dan para pengusaha pribumi menyoroti bahwa meski angka pertumbuhan tampak stabil, kesejahteraan masyarakat luas dan ketimpangan ekonomi justru semakin menjadi masalah yang krusial di akhir masa pemerintahan Jokowi.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan era kepemimpinan sebelumnya, ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas kebijakan ekonomi yang diterapkan. Evaluasi ini seharusnya menjadi dasar bagi pemerintahan berikutnya untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berfokus pada penciptaan lapangan kerja, pengurangan ketimpangan, serta pemberdayaan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya pengusaha kecil dan menengah.