Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media
Jakarta – ARL (30), peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Program Studi Anestesi Universitas Diponegoro-RSUP Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah, ditemukan meninggal dunia di kamar indekosnya di Kota Semarang, Senin (10/8/2024).
Polisi menyebut mahasiswi asal Kota Tegal, Jateng, itu menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya. Ia dipastikan meninggal dunia karena obat itu.
Sebenarnya obat tersebut untuk pelemas otot yang untuk memasukkannya seharusnya pakai infus, bukan disuntikkan.
Polisi juga menemukan sebuah buku catatan harian di kamar indekos mahasiswi itu. Buku diary, yang juga menjadi materi curahan hatinya kepada sang ibu, tersebut mengungkap masa-masa sulit selama kuliah kedokteran dan menyinggung urusan dengan seniornya yang disebut kerap minta ini-itu.
ARL diduga mengalami “bullying” atau perundungan. Bullying adalah perilaku agresif yang berulang, disengaja, dan memiliki tujuan untuk menyakiti, merendahkan, atau mendominasi orang lain secara emosional, fisik, atau mental.
ARL tercatat sebagai dokter Aparatur Sipil Negara (ASN) di RS dr Kardinah, Kota Tegal, sejak 2019. Dokter muda yang santun, ramah dan baik hati itu pernah mengalami cedera tulang belakang saat menjalani praktik PPDS dan pernah dioperasi pula.
Pihak Undip membantah ARL mengalami “bullying”. ARL disebut pihak Undip mempunyai masalah kesehatan.
Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan terus melakukan investigasi. Sementara PPDS Program Studi Anestesi Undip-RSUP Dr Kariadi ditutup sementara selama proses investigasi berlangsung. Tujuannya agar junior-junior tidak tutup mulut menghadapi intimidasi atau tekanan senior-senior pasca-kematian ARL. Investigasi pun akan lebih objektif.
Menkes BGS juga tak segan-segan akan mencabut izin praktik dokter yang terlibat bullying kepada ARL.
BGS mengungkap berdasarkan hasil “screening” mental yang pernah dilakukan pihaknya, ditemukan banyak peserta PPDS yang ingin bunuh diri.
Artinya, bukan hanya di Undip-RSUP Dr Kariadi melainkan juga di universitas-universitas lain di Indonesia.
Artinya pula, ARL hanya fenomena gunung es di lautan yang hanya kelihatan pucuknya, sementara badan gunungnya yang lebih besar ada di dasar lautan.
Bagaimana bisa seorang dokter yang intelijensinya tidak diragukan lagi sanggup melakukan kekerasan? Kecerdasan emosional mereka ternyata rendah.
Pun, mungkin terkait tradisi turun-temurun di institusi pendidikan dokter spesialis itu. Ada semacam perasaan superioritas di kalangan senior kepada juniornya. Ada Machoisme di sana.
Seperti di lembaga-lembaga pendidikan kedinasan. Ada semacam balas dendam senior kepada seniornya lagi yang kemudian dilampiaskan kepada junior.
Proses Hukum
Pemerintah seyogianya tidak hanya mencabut izin praktik dokter, tetapi juga melakukan proses hukum terhadap semua senior yang terlibat bullying kepada ARL.
Nama-nama senior ARL jelas sudah tercatat. Apalagi jika ada CCTV atau kamera pengawas di tempat ARL menjalani praktik PPDS.
Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis melalui verbal atau kata-kata. Handphone ARL juga perlu diperiksa untuk menelisik siapa saja seniornya yang terlibat bullying.
Mengapa perlu proses hukum?
Pertama, untuk menciptakan efek jera atau “detterence effect” bagi para pelakunya.
Kedua, sebagai terapi kejut atau “shock teraphy” bagi calon pelaku lainnya.
Dengan adanya proses hukum, maka fenomena gunung es dalam kasus “bullying” di PPDS bisa dieliminasi bahkan dihilangkan sama sekali. Tidak hanya di Undip-RSUP Dr Kariadi, tapi juga universitas-universitas lain. Semoga!