Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – “Tumpes kelor” dalam terminologi Jawa disebut sebagai pembunuhan atau pemusnahan terhadap satu keluarga, bahkan hingga tujuh turunan.
Tumpes kelor biasanya dilakukan dengan metodologi santet, sehingga ada jenis santet yang bernama Santet Tumpes Kelor.
Kini, keluarga besar PDI Perjuangan sepertinya sedang menjadi sasaran tumpes kelor. Tidak dengan santet, tapi dengan senjata hukum dan politik.
Tumpes kelor inilah yang akan membuat dunia politik dan hukum Indonesia mengalami gonjang-ganjing atau geger dalam beberapa waktu ke depan.
Tumpes kelor secara hukum, antara lain Hasto Kristiyanto dijadikan tersangka. Sekretaris Jenderal PDIP itu, Selasa (24/12/2024) lalu ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dua perkara sekaligus yang semuanya terkait Harun Masiku.
Pertama, sebagai tersangka suap yang bersama Harun Masiku disangka menyuap Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 agar Harun diloloskan sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) Nazaruddin Kiemas, calon anggota legislatif DPR RI terpilih dari PDIP di Pemilu 2019 yang meninggal dunia.
Kedua, sebagai tersangka “obstruction of justice” (perintangan penyidikan) dalam upaya KPK menangkap Harun Masiku yang sejak 8 Januari 2020 buron hingga kini.
Penetapan dirinya sebagai tersangka itu dinilai Hasto sebagai politisasi hukum dan kriminalisasi kepada dirinya oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo yang ia nilai “nabok nyilih tangan” KPK. Musababnya, Hasto kerap mengkritik Jokowi dan keluarganya belakangan ini.
Meski sempat dibantah KPK, namun asumsi Jokowi “nabok nyilih tangan” KPK sulit dilepaskan dari kasus Hasto ini. Mengapa? Karena KPK baru tergopoh-gopoh menggarap Hasto setelah PDIP pecah kongsi dengan Jokowi pada Pemilu 2024 lalu, atau lima tahun setelah peristiwa penyuapan itu terjadi. Selama lima tahun itu, ke mana saja KPK?
Adapun “nabok nyilih tangan” berarti menampar seseorang dengan meminjam tangan orang lain. Atau dalam peribahasa disebut “lempar batu sembunyi tangan”.
Selain Hasto, Ketua DPP PDIP Yasonna Laoly juga sudah diperiksa KPK sebagai saksi kasus Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto. Bekas Menteri Hukum dan HAM itu juga sudah dicegah keluar negeri. Pentersangkaan Yasonna sepertinya tinggal soal waktu saja.
KPK juga sudah memeriksa Maria Lestari, anggota DPR RI dari PDIP sebagai saksi dalam kasus Harun Masiku. KPK juga telah memeriksa bekas Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai saksi kasus korupsi di BUMN itu.
Bukan tidak mungkin, dalam kasus Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto ini KPK akan memanggil Megawati untuk diperiksa sebagai saksi.
Kamis (9/1/2025) kemarin, Koalisi Masyarakat Anti Korupsi melaporkan sejumlah politikus PDIP ke KPK dengan berbagai kasus masing-masing. Ada Ahok, Ganjar Pranowo, Deddy Sitorus, dan Adian Napitupulu yang mereka laporkan.
Politik
Secara politik, PDIP juga sepertinya sedang menjadi sasaran tumpes kelor. Siapa pelakunya? Sepertinya juga sulit dilepaskan dari Jokowi, meskipun wong Solo itu sudah membantah.
Usai bertemu Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Kamis (2/1/2025) lalu, Effendi Simbolon yang belum lama ini dipecat PDIP mendesak agar Megawati Soekarnoputri mundur dari jabatan Ketua Umum PDIP sebagai konsekuensi politik atas perkara yang menjerat Hasto.
Desakan ini diprediksi akan terus disuarakan oleh mereka yang baru saja dipecat PDIP menjelang Kongres VI PDIP April mendatang.
Jokowi dan anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, serta menantunya, Bobby Nasution juga baru saja dipecat dari PDIP, menyusul Effendi Simbolon, Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait.
Sosok-sosok itu diprediksi akan menggoyang kursi Megawati yang akan dipilih kembali sebagai ketua umum di kongres nanti.
Sebelum di tersangkakan, Hasto juga disebut-sebut ditemui oleh seorang utusan yang menyampaikan pesan agar politikus asal Yogyakarta itu mundur dari jabatan Sekjen PDIP. Tapi Hasto bergeming.
Balas Dendam
Mengapa tumpes kelor sampai dilakukan terhadap keluarga besar PDIP? Itulah dendam. Itulah politik.
Dalam politik, tak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.
Permusuhan dengan sesama saudara biasanya juga lebih sengit. Seperti Pandawa dan Kurawa yang berasal dari keturunan yang sama.
Seperti bangsa Indonesia dengan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah, tapi dengan mudah melupakannya dan Indonesia relatif tak ada kekhawatiran akan kembali dijajah Belanda atau Jepang.
Berbeda dengan misalnya terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di mana hingga kini bangsa Indonesia masih menyimpan dendam atau paling tidak kecurigaan gegara PKI dan DI/TII pernah melakukan pemberontakan.
Bahkan rezim Orde Baru pernah melakukan tumpes kelor terhadap para anggota PKI dan keluarganya atas mama balas dendam.
Ihwal balas dendam dalam politik, hal itu juga sudah menjadi kelaziman bangsa ini sejak zaman Ken Arok di awal abad ke-13 hingga kini.
Pergantian kekuasaan di era Singosari selalu diwarnai aksi balas dendam antara keluarga Tunggul Ametung dan keluarga Ken Arok secara turun-temurun.
Aksi balas dendam itu bahkan terjadi hingga tujuh turunan.
Di era modern ini, sejak Orde Lama, Orde Baru hingga kini Orde Reformasi, pergantian kekuasaan juga selalu diwarnai aksi balas dendam dari satu Presiden ke Presiden berikutnya. Dari Bung Karno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi hingga kini Prabowo Subianto.
Kini, aksi balas dendam itu sedang melanda PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Mereka akan di-tumpes kelor!