OLRH : ENTANG SASTRAATMADJA
detikfinance merilis, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan dua hal penting untuk mengejar target swasembada pangan, yakni peran Perum Bulog menyerap gabah dan pembangunan irigasi. Menurut Mentan, jika kedua hal itu tidak maksimal penggarapannya, maka swasembada pangan akan bermasalah.
Sinyal yang disampaikan Mentan diatas, tentu menjadi “warning” bagi Perum Bulog dan Kementerian PU, sekalipun kita tahu persis, kata kunci tercapainya swasembada pangan, tetap bakal ditentukan oleh produksi pangan yang melimpah. Artinya, upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pangan merupakan penentu utama pencapaian swasembada pangan.
Tanggungjawab menggenjot produksi dan produktivitas pangan tetap berada di pundak Kementerian Pertanian. Artinya, mana mungkin Perum Bulog akan dapat menyerap gabah setinggi-tingginya, jika produksi pangannya tidak ada. Itu sebabnya, kita pun perlu mengingatkan Kementerian Pertanian, apakah sudah didapatkan solusi cerdasnya, terhadap penyebab utama turunnya produksi pangan ?
Kemampuan Perum Bulog menyerap hasil panen petani, sepertinya tidak perlu diragukan, selama produksinya melimpah ruah. Namun jika produksinya melorot, berarti Perum Bulog perlu bersaing dengan bandar/tenfkulak/pedagang/pengusaha gabah dan beras yang ada di lapangan. Berdasar pengalaman perebutan gabah saat panen raya, bukankah hal mudah untuk ditempuh.
Cukup banyak luka-liku yang harus dilewati. Salah satu titik lemah yang berlangsung selama ini, ternyata “suasana kebatinan” para petani dengan pebisnis gabah di lapangan, lebih terbangun ketimbang petani dengan Perum Bulog. Jalan keluar terbaiknya adalah sampai sejauh mana Perum Bulog mampu mendekatkan diri dengan pwtani.
Kalau regulasi Bulog Baru segera dituntaskan, status Bulog sebagai lembaga otonom Pemerintah, relatif lebih mudah dalam pelaksanaannya dari pada Bulog berstatuskan sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Masalahnya adalah apakah saat panen raya tiba Bulog sudah memiliki status baru dan terbebas dari posisinya sebagai Perusahaan Plat Merah ?
Menyikapi persoalan seperti ini, kita optimis Menko bidang Pangan akan ‘all out’ menuntaskan pekerjaan yang tersisa. Bung Zulhas beken dengan langkah gerak-cepatnya. Kalau bisa dipercepat, mengapa harus diperlambat. Begitu pun dengan regulasoli Bulog Baru ini. Bung Xulhas berkapasitas untuk mengajak Menteri-Menteri lain untuk secepatnya melahirkan regulasi yang dimaksud.
Soal revitalisasi irigasi pertanian, baik tersier, sekunder dan primer, benar-benar sangat mendesak untuk digarap. Lebih dari 50 % irigasi yang ada terbengkalai dan berada dalam kondisi rusak, baik rusak berat, sedang ataupun ringan. Bagaimana pun rumitnya oersoalanbyang dihadapi, revitalisasi irigasi, tidak boleh ditunda-tunda lagi. Irigasi di negeri ini butuh “darah baru”, sehinggq mampu meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian secara lebih signifikan.
Dalam kaitannya upaya peningkatan produksi dan produktivitas hasil pertanian, khususnya beras, sinergi dan kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum, mutlak dilakukan. Mengapa ? Sebab, berdasarkan pengalaman di lapangan, salah satu penyebab anjlok nya produksi beras, dikarenakan banyaknya irigasi yang rusak dan tidak berfungsi dengan optimal.
Komitmen Pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, salah satunya akan ditentukan oleh keberadaan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya. Oleh karena itu, sinergi dan kolaborasi antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian PU, perlu segera digarap, khususnya yang berkaitan dengam perbaikan irigasi yang rusak dan pengembangan Sistem Irigasi Partisipatif.
Mencermati perkembangan yang ada, dibeberapa daerah banyak terpantau banyak irigasi yang bermasalah. Secara umum masalah tersebut dapat diamati dari berbagai sudut pandang. Pertama,
berkaitan dengan masalah teknis seperti
kerusakan infrastruktur irigasi (saluran, bendungan, pompa); keterbatasan kapasitas penyimpanan air; kualitas air yang buruk; penggunaan teknologi irigasi yang tidak efisien dan
ketergantungan pada sumber air yang tidak stabil.
Kedua, masalah lingkungan seperti
penggunaan air berlebihan menyebabkan kekeringan; polusi air akibat penggunaan pestisida dan pupuk;
kerusakan ekosistem sungai dan danau;
perubahan iklim mempengaruhi ketersediaan air dan kehilangan biodiversitas.
Ketiga, masalah sosial-ekonomi seperti biaya operasional irigasi yang tinggi; ketergantungan petani pada irigasi; konflik antara petani dan pengelola irigasi; kurangnya kesadaran petani tentang pengelolaan air dan keterbatasan akses ke teknologi irigasi modern.
Keempat masalah Institusional/Kelembagaan seperti kurangnya pengawasan dan regulasi; keterbatasan sumber daya manusia; konflik kepentingan antara instansi pemerintah;
kurangnya koordinasi antara petani dan pengelola irigasi dan keterbatasan anggaran untuk perawatan dan pengembangan.
Kelima masalah alam seperti banjir dan tanah longsor; kekeringan dan kemarau; perubahan iklim; gempa bumi dan aktivitas vulkanik dan keterjadian hama dan penyakit tanaman.
Dihadapkan pada masalah yang demikian, sangat tepat jika Pemerintah segera melakukan revitalisasi irigasi. Ini penting sekali digarap, karena revitalisasi irigasi adalah proses perbaikan, pemeliharaan dan pengembangan sistem irigasi yang sudah ada untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan penggunaan air.
Semoga kerisauan Mentan diatas akan dapat dijawab dengan cerdas oleh para koleganya demi tercapainya swasembada pangan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).