Oleh: Dr. Novita Sari Yahya
Media memberitakan pelantikan sejumlah anak pejabat sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029 pada Selasa, 1 Oktober 2024, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Mereka memiliki kekayaan fantastis di usia muda, menimbulkan pertanyaan apakah warisan harta dari orang tua dapat menjadi jalan mulus bagi mereka yang minim pengalaman dan baru pertama kali dilantik sebagai anggota legislatif.
Kepemimpinan yang matang tidak hanya lahir dari garis keturunan, tetapi juga dari pengalaman, pengetahuan politik kebangsaan, serta keterampilan dalam mengelola massa. Sutan Syahrir, misalnya, sudah terlibat dalam dunia pergerakan di usia muda. Ia aktif dalam organisasi di Belanda bersama Bung Hatta dan menjalani pengasingan di Boven Digoel, Papua. Syahrir belajar dari pengalaman dan literatur, berbeda dengan fenomena generasi muda saat ini yang cenderung malas membaca namun aktif berkomentar di media sosial.
Fenomena kepemimpinan generasi muda saat ini menunjukkan kecenderungan gaya hidup hedonis. Banyak dari mereka menduduki posisi jabatan karena warisan kekayaan dan dukungan orang tua yang berkuasa, tetapi minim pengalaman dalam organisasi dan pergerakan massa. Tidak mengherankan jika kader-kader muda partai yang mengusung jargon anak muda tampak tidak memiliki argumentasi berbobot dalam debat. Mereka sering kali hanya mengandalkan retorika tanpa substansi, setara dengan obrolan gosip emak-emak.
Di sisi lain, generasi muda juga kerap meniru figur selebritas media sosial seperti Awkarin dan influencer lainnya yang mengedepankan gaya hidup glamour dan hedonis. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh bapak-ibuisme yang diwariskan Orde Baru. Julia Suryakusuma (2011) menjelaskan bahwa bapak-ibuisme merupakan perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa yang bercirikan petit-bourgeois atau kebendaan. Kelompok elite yang mendominasi akses jabatan hanya dari kalangan berpunya menciptakan generasi yang bisa disebut sebagai pemuda bapakisme.
Sejarawan JJ Rizal menyebut pemuda bapakisme sebagai produk dari tradisi politik Soeharto yang mengakar di alam bawah sadar masyarakat Indonesia, baik secara biologis maupun ideologis. Ini bertolak belakang dengan Syahrir yang pada usia 18 tahun sudah menjadi pendiri Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Ia tidak mengambil hak istimewa sebagai anak pejabat kolonial, tetapi justru menentang kelas sosialnya dengan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Saat ini, banyak anak dan keluarga pejabat, termasuk istri pejabat, memanfaatkan hak istimewa mereka untuk memperkaya diri. Mereka memperoleh jabatan politik melalui mobilisasi suara dengan ormas, yang pada akhirnya menghasilkan pemimpin instan yang minim kapasitas. Jabatan politik yang diperoleh karena nepotisme dan KKN merupakan wujud nyata dari pemuda bapakisme, sementara istri pejabat yang menikmati hak istimewa suaminya mencerminkan ibuisme.
Kuatnya pengaruh bapak-ibuisme dalam politik Indonesia telah menciptakan generasi muda yang hanya mengandalkan privilese tanpa membangun budaya kepemimpinan dan kaderisasi. Kepemimpinan instan yang dibeli dengan uang adalah bentuk penghancuran demokrasi serta pelecehan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat.
Syahrir mencontohkan politik berbasis pemikiran dan dialektika, berbeda dengan Soekarno yang membakar semangat massa dengan retorika revolusi. Bung Hatta pernah memperingatkan Bung Karno tentang pentingnya membangun setelah revolusi. Mobilisasi massa dengan retorika semata tidak akan mengatasi masalah kesejahteraan rakyat, yang sering kali suara mereka dibeli dengan sembako dan uang.
Di era digital yang tanpa batas, pengaruh buruk bisa masuk dengan mudah ke dalam individu dan keluarga Indonesia. Diperlukan filterisasi terhadap arus informasi melalui penguatan karakter bangsa. Julia Suryakusuma menyatakan bahwa ideologi bapak-ibuisme yang telah mengakar harus dikikis demi menciptakan masyarakat baru yang tangguh dalam berbagai aspek kehidupan. Nation and character building menjadi kebutuhan mendesak dalam menghadapi tantangan zaman.
Berbagai fenomena sosial seperti bullying, kekerasan, tawuran, narkoba, alkohol, judi online, dan pinjaman online semakin mengancam generasi muda. Oleh karena itu, strategi membangun nation and character building perlu digalakkan melalui gerakan literasi.
Sebagai upaya membangun kesadaran literasi, buku Novita dan Kebangsaan hadir sebagai contoh konkret dalam menggiatkan gerakan literasi di kalangan anak muda. Buku ini berisi kutipan, puisi, cerpen, artikel, dan esai yang membahas pendidikan, ketahanan keluarga, serta nation and character building dengan pendekatan gerakan self-love.
Gerakan self-love berlandaskan sepuluh prinsip:
- Say no to drugs
- Say no to alkohol
- Tidak terlibat dalam pergaulan bebas
- Tidak terlibat dalam dunia dugem
- Tidak merokok
- Rajin berolahraga
- Menerapkan pola makan bergizi seimbang
- Mengisi waktu dengan membaca dan menulis
- Fokus pada tujuan hidup
- Menghindari lingkungan toxic
Konsep self-love dalam buku ini bertujuan memberikan edukasi kepada generasi muda agar mampu melindungi diri dari pengaruh negatif di era digital. Teknologi dapat menjadi alat yang bermanfaat jika digunakan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan yang positif. Sebaliknya, jika digunakan oleh individu tanpa ketahanan mental dan literasi, teknologi dapat menjadi sarana penyebaran hoaks yang memecah belah bangsa.
Oleh karena itu, gerakan literasi harus digiatkan agar membaca menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda. Seperti kata Bung Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Daftar Pustaka
Suryakusuma, Julia. (2011). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu.
Syahrir, Sutan. (1994). Perjuangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Guntur 49.
Syahrir, Sutan. (1982). Sosialisme Indonesia Pembangunan: Kumpulan Pemikiran Sutan Syahrir. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS).