Gelombang desakan dari berbagai elemen masyarakat untuk membatalkan pelantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden semakin marak. Tekanan untuk mundur tersebut tampaknya tak akan surut, bahkan hingga saat pelantikan tiba. Bahkan, beberapa kalangan meyakini bahwa gerakan ini akan terus hidup dan berkembang, meskipun Gibran akhirnya dilantik. Mengapa desakan ini begitu kuat? Jawabannya terletak pada prinsip fundamental dalam hukum: konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, dan aturan di bawahnya tidak boleh bertentangan atau melanggar prinsip-prinsip konstitusi itu sendiri.
Adagium hukum yang menyatakan bahwa lex superior derogat legi inferiori—hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah—menjadi pijakan utama bagi kelompok-kelompok yang menolak pelantikan Gibran. Dalam konteks ini, yang dipermasalahkan adalah kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi Indonesia, khususnya terkait syarat usia minimum untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Konstitusi jelas mengatur bahwa calon Presiden atau Wakil Presiden harus berusia minimal 40 tahun, sementara Gibran saat ini belum mencapai usia tersebut. Meski terdapat argumentasi dari pihak-pihak yang mendukung Gibran bahwa undang-undang atau aturan lain memungkinkan pengecualian, namun masyarakat menilai ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap supremasi konstitusi.
Konstitusi sebagai Landasan Hukum Tertinggi
Indonesia, sebagai negara hukum, sangat menekankan bahwa setiap tindakan pemerintah dan pejabat publik harus berada dalam koridor yang ditetapkan oleh konstitusi. Konstitusi UUD 1945 telah menempatkan diri sebagai landasan tertinggi dalam tata kelola negara. Setiap regulasi, keputusan, maupun kebijakan yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
Dalam kasus pencalonan dan pelantikan Gibran, muncul pertanyaan serius: apakah ada celah hukum yang bisa digunakan untuk melangkahi ketentuan konstitusional tersebut? Meskipun ada diskusi hukum yang mencoba menjustifikasi pengecualian berdasarkan ketentuan lain, adagium hukum mengingatkan kita bahwa aturan di bawah konstitusi tidak bisa mengesampingkan konstitusi itu sendiri.
Pelanggaran terhadap konstitusi tidak hanya akan menimbulkan polemik hukum, tetapi juga mengancam integritas demokrasi. Jika sebuah aturan yang lebih rendah bisa melangkahi konstitusi, maka akan membuka ruang untuk pelanggaran hukum yang lebih besar di masa depan. Prinsip rule of law akan tergerus dan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
Tuntutan Mundur: Lebih dari Sekadar Usia
Namun, gelombang desakan ini tampaknya tidak hanya terfokus pada soal usia. Isu ini juga terkait dengan aspek moralitas dan legitimasi politik. Bagi banyak pihak, pencalonan Gibran dianggap sebagai wujud nyata dari praktik nepotisme dalam politik Indonesia, di mana anak seorang Presiden maju sebagai Wakil Presiden, memperlihatkan adanya kekuatan politik yang diwariskan di dalam lingkup keluarga penguasa. Meskipun Gibran memiliki prestasi sebagai Wali Kota Solo, sejumlah pihak mempertanyakan apakah pencalonannya ini benar-benar didasarkan pada kapabilitas politik atau hanya pada koneksi keluarga.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang kualitas demokrasi kita. Apakah Indonesia sedang menuju ke arah politik dinasti yang lebih mengakar, di mana kekuasaan dipertahankan dalam lingkaran keluarga dan elite politik? Jika iya, maka tuntutan mundur terhadap Gibran ini tak hanya berbicara tentang pelanggaran konstitusi, tetapi juga tentang melawan praktik-praktik yang merusak esensi demokrasi.
Gerakan yang Terus Membesar
Tidak dapat dipungkiri, desakan untuk membatalkan pelantikan Gibran akan terus membesar. Kekecewaan masyarakat terhadap jalannya proses politik ini seakan-akan menyulut api protes yang tidak mudah padam. Aktivis, akademisi, hingga tokoh masyarakat, menyuarakan kritik mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai upaya untuk melegalkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan konstitusi dan semangat reformasi. Tekanan ini diperkirakan akan terus berlanjut, bahkan setelah Gibran resmi dilantik, karena tuntutan mundur bukanlah sesuatu yang akan hilang begitu saja.
Apa yang kita saksikan adalah reaksi keras dari masyarakat yang menolak kompromi terhadap prinsip-prinsip hukum dan demokrasi. Keberadaan gerakan protes ini menunjukkan bahwa kesadaran politik di kalangan masyarakat sipil masih sangat hidup dan kuat. Ini menjadi tanda bahwa rakyat tidak akan tinggal diam jika melihat adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum, atau praktik-praktik yang mencederai semangat demokrasi.
Kesimpulan: Haruskah Kita Membiarkan Konstitusi Dilanggar?
Pada akhirnya, pertanyaan yang mendasar adalah apakah kita rela membiarkan konstitusi dilanggar demi kepentingan politik tertentu? Adagium hukum yang menempatkan konstitusi di atas segala aturan lainnya adalah prinsip yang tidak boleh diabaikan. Jika aturan main dalam bernegara mulai dilanggar, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi kita akan goyah.
Desakan masyarakat untuk membatalkan pelantikan Gibran adalah wujud dari penolakan terhadap segala bentuk pelanggaran konstitusi dan nepotisme politik. Jika prinsip ini dikompromikan, maka kita akan membuka pintu bagi pelanggaran-pelanggaran yang lebih besar di masa depan. Dalam semangat menjaga konstitusi dan demokrasi, tuntutan ini seharusnya dipandang sebagai upaya menjaga keadilan dan mencegah kekuasaan yang semena-mena.
Dengan demikian, gerakan ini bukan sekadar gerakan oposisi politik, melainkan upaya menjaga harkat dan martabat konstitusi yang menjadi landasan bernegara kita.