Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius dalam proses pembuatan undang-undang, terutama dengan munculnya beberapa undang-undang yang dinilai mengandung logical fallacy atau kekeliruan logis. Salah satu contoh yang mencolok adalah masalah yang timbul dari keberadaan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (IKN) dan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). UU DKJ yang baru mencabut UU DKI, sehingga secara implikatif, negara ini tidak lagi memiliki Ibu Kota yang sah di atas landasan hukum, mengingat Jakarta sudah tidak lagi diakui secara hukum sebagai ibu kota negara.
Kegagalan logis seperti ini merupakan indikasi dari masalah yang lebih mendasar, yaitu lemahnya kemampuan berpikir kritis dan logis di kalangan para penyusun undang-undang. Agar kesalahan semacam ini tidak terulang di masa depan, sangat penting untuk memastikan bahwa mereka yang terlibat dalam proses pembuatan undang-undang memiliki pola pikir yang logis dan rasional. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan melakukan tes psikologi kognitif kepada para calon pembuat undang-undang, baik di legislatif maupun eksekutif.
Pentingnya Tes Psikologi Kognitif
Tes psikologi kognitif dapat menjadi alat untuk menilai kemampuan berpikir logis, mengidentifikasi distorsi kognitif, dan mengukur kapasitas intelektual seseorang. Berikut adalah beberapa tes yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif dan memastikan para calon pembuat undang-undang memiliki pola pikir yang rasional:
1. Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal
Tes ini dirancang untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan penalaran logis. Kemampuan ini penting dalam menganalisis informasi dan mendeteksi kesalahan berpikir yang mungkin terjadi selama proses penyusunan undang-undang. Jika para pembuat kebijakan tidak memiliki kemampuan ini, ada risiko besar bahwa produk hukum yang dihasilkan akan mengandung kesalahan logika yang fatal.
2. Test of Logical Thinking
Tes ini lebih fokus pada pengukuran pola pikir logis dan konsisten. Dalam menyusun undang-undang, pembuat kebijakan harus mampu memikirkan implikasi dan koherensi dari setiap pasal yang disusun. Mereka yang gagal dalam tes ini menunjukkan kelemahan dalam mengidentifikasi hubungan sebab-akibat yang logis, yang pada akhirnya bisa menghasilkan kebijakan yang tidak efektif dan bermasalah.
3. Mini Mental State Examination (MMSE)
MMSE adalah tes yang digunakan untuk menilai fungsi kognitif secara umum, termasuk aspek memori, perhatian, dan penalaran. Fungsi-fungsi ini sangat penting dalam proses legislasi, karena pembuat kebijakan perlu memiliki daya ingat yang kuat untuk memahami sejarah, konteks, dan dampak undang-undang yang mereka susun. Gangguan pada fungsi-fungsi ini bisa menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk dan ketidakmampuan memahami konsekuensi dari kebijakan yang diusulkan.
4. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
WAIS adalah salah satu tes yang paling umum digunakan untuk mengukur kecerdasan orang dewasa. Tes ini mengevaluasi kemampuan penalaran logis, pemecahan masalah, dan kemampuan intelektual secara keseluruhan. Bagi para pembuat undang-undang, kemampuan-kemampuan ini sangat penting dalam memahami permasalahan kompleks yang terkait dengan hukum dan kebijakan publik.
5. Cognitive Distortion Scale
Distorsi kognitif, seperti overgeneralisasi, pemikiran hitam-putih, dan kesalahan atribusi, sering kali menyebabkan seseorang berpikir secara tidak rasional. Tes ini digunakan untuk mengidentifikasi apakah seseorang memiliki kecenderungan untuk berpikir dengan cara yang distorsif, yang dapat berdampak negatif pada proses legislasi. Seseorang yang memiliki distorsi kognitif mungkin tidak dapat melihat masalah secara objektif dan rasional, yang dapat berakibat pada kebijakan yang tidak adil atau tidak efisien.
6. Neuropsychological Tests (Tes Neuropsikologis)
Tes-tes ini, seperti Wisconsin Card Sorting Test atau Stroop Test, digunakan untuk mengukur fungsi eksekutif, fleksibilitas kognitif, dan kemampuan berpikir logis dalam menyelesaikan masalah. Tes-tes ini penting dalam mendeteksi apakah seseorang memiliki gangguan dalam proses berpikir yang terorganisir. Para pembuat undang-undang dengan gangguan ini mungkin tidak mampu menghasilkan kebijakan yang logis dan konsisten.
Mengapa Penting untuk Tes Para Pembuat Undang-Undang?
Undang-undang adalah fondasi dari setiap negara. Setiap kebijakan yang dihasilkan memiliki dampak yang luas terhadap masyarakat, perekonomian, dan kestabilan politik negara tersebut. Jika undang-undang dibuat tanpa pemikiran yang logis dan rasional, akibatnya bisa sangat merusak. Sebuah undang-undang yang mengandung logical fallacy dapat membingungkan pelaksanaannya, bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum, atau bahkan menyebabkan kebuntuan hukum.
Kegagalan dalam menghasilkan kebijakan yang logis, seperti yang terlihat dalam UU DKJ yang mencabut UU DKI tanpa memberikan dasar hukum yang jelas untuk status ibu kota, menunjukkan bahwa ada kekurangan signifikan dalam proses pemikiran para pembuat kebijakan. Jika kesalahan seperti ini dibiarkan terus terjadi, negara akan berada dalam risiko besar mengalami krisis hukum dan tata kelola.
Penutup: Reformasi Proses Legislasi
Agar undang-undang di masa depan lebih berkualitas dan tidak mengandung kesalahan logika, perlu adanya reformasi dalam proses penyusunan undang-undang. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan melakukan tes psikologi kognitif bagi para calon pembuat undang-undang. Tes ini tidak hanya akan membantu mengidentifikasi apakah seseorang memiliki kemampuan berpikir logis, tetapi juga dapat mencegah individu yang tidak kompeten secara kognitif dari terlibat dalam proses legislasi yang sangat penting ini.
Dengan demikian, negara akan lebih terlindungi dari produk-produk hukum yang absurd dan tidak masuk akal, yang hanya akan menambah beban bagi masyarakat dan pemerintah.