FusilatNews – Bagi yang mengimaninya, segala hal tentang Joko Widodo adalah perkara tuntas. Tidak perlu legalisir, tidak perlu verifikasi lanjutan. Cukup dengar pernyataan UGM dan ketok palu KPU, maka selesai sudah: ijazah Jokowi sah. Namun bagi mereka yang menggunakan akal sehat dan bertanya dengan nalar publik, perkara ini bukan sekadar soal sah atau tidak di atas kertas, melainkan soal legitimasi moral dan transparansi seorang pemimpin negara.
Polemik ijazah Presiden ke-7 RI kembali mencuat, seperti luka lama yang dipaksa sembuh tanpa pernah benar-benar diobati. Mantan Ketua KPU, Ilham Saputra, bersuara menegaskan bahwa ijazah Jokowi sudah diverifikasi pada masa pencalonan 2014 dan 2019. UGM menyatakan lulusan, KPU menyatakan sah. Tapi pernyataan ini bukan jawaban dari pertanyaan yang diajukan masyarakat, melainkan upaya untuk membungkus perkara lama dengan kertas baru.
Mari bicara apa adanya: apakah sah secara prosedural berarti benar secara substantif? KPU, sebagaimana diakui Ilham sendiri, tidak punya kewenangan memastikan keaslian legal dokumen secara forensik. Mereka hanya bertanya ke UGM, dan UGM menjawab. Tapi siapa yang menjamin bahwa yang dijawab adalah pertanyaan yang tepat? Dan siapa pula yang berani membuka seluruh dokumen asli itu ke publik secara terbuka, bukan hanya pernyataan formal dari institusi yang bisa jadi sedang menjaga marwah, bukan kejujuran?
Jokowi sendiri, alih-alih menunjukkan ijazahnya di depan publik secara gamblang, memilih melaporkan para penuduhnya ke polisi. Roy Suryo, mantan Menpora sekaligus pemerhati simbol negara, menyebut langkah itu janggal. Mengapa takut membuka ijazah, jika memang tak ada yang disembunyikan?
Itulah titik singgung antara iman dan akal. Bagi yang telah percaya, apa pun yang dilakukan Jokowi dianggap langkah terbaik. Tapi bagi yang menaruh akal di depan iman, langkah itu adalah pertanda: bahwa transparansi sedang disembunyikan di balik jubah hukum.
Kita tidak sedang menggugat Jokowi karena kebencian, tapi karena kita sedang mempertanyakan standar kejujuran publik di era demokrasi. Seorang presiden bukan hanya harus tampak sah di hadapan hukum, tapi juga bersih dari keraguan di benak rakyatnya. Dan keraguan itu tak bisa dilawan dengan laporan polisi. Ia hanya bisa dijawab dengan keberanian membuka semua fakta secara terang benderang.
Ijazah bisa saja sah menurut KPU. Tapi jika rakyat belum diyakinkan, maka legitimasi moral seorang presiden tetap akan digugat di ruang paling luas bernama opini publik. Dan ingat, sejarah bukan ditulis oleh hukum semata, melainkan oleh kesaksian nurani rakyat. Maka jika kebenaran tak datang dari istana, ia akan terus dicari—meski hanya dengan keyakinan sederhana: bahwa kebenaran tak akan pernah butuh disembunyikan.