Oleh: Damai Hari Lubis
Satu demi satu babak sandiwara hukum seputar dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kian terang-benderang, sekaligus menebar keanehan. Setelah Damai Hari Lubis, Koordinator Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), diperiksa oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Mabes Polri pada Senin, 27 April 2025, kini giliran tiga tokoh TPUA lain yang akan dipanggil pada Selasa, 6 Mei. Mereka adalah Rizal Fadillah, Meydi Juniarto, dan Rustam Effendi — tiga nama penting yang berada di garis depan pengusutan dugaan ini, termasuk saat mendatangi Universitas Gadjah Mada dan rumah pribadi Jokowi di Solo.
Namun publik tertegun, bukan semata oleh proses hukum itu, melainkan oleh manuver politik yang menyertainya. Mengapa Presiden Jokowi justru memilih melaporkan pihak lain — Dr. Roy Suryo dan kawan-kawan — ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan menyebarkan fitnah soal ijazah palsu, padahal substansi tuduhan yang sama lebih dahulu diadukan TPUA ke Mabes Polri sejak 9 Desember 2024? Apakah laporan balik ini bentuk pembalasan personal, atau sekadar upaya mendikte narasi publik bahwa dirinya korban, bukan pihak terlapor?
Bagi publik yang cermat mengikuti peta kekuasaan, langkah Jokowi terasa janggal. Tak lazim seorang presiden turun langsung melaporkan warga sipil dalam perkara yang sejatinya sudah berproses di institusi negara. Apalagi, perkara ini menyangkut integritas pribadi seorang kepala negara dan menyentuh langsung kredibilitas institusi pendidikan ternama sekelas UGM.
Lebih janggal lagi, proses penyelidikan atas aduan TPUA yang menyasar Presiden justru berjalan di Dittipidum Mabes Polri — bukan di Polda Metro Jaya, bukan pula dikembalikan secara normatif ke pihak pelapor untuk melengkapi bukti. Artinya, Polri secara diam-diam menganggap laporan itu sah untuk ditindaklanjuti. Sebuah sikap yang langka, mengingat dalam satu dekade terakhir, Jokowi lebih sering kebal dari sentuhan hukum.
Lalu publik bertanya, apa yang sedang terjadi di tubuh Polri?
Apakah pemanggilan demi pemanggilan terhadap anggota TPUA mencerminkan itikad serius dalam membongkar kebenaran, atau sekadar taktik mengulur waktu sambil menekan lawan politik lewat jalur hukum? Atau, justru ini pertanda retaknya satu kesatuan komando dalam tubuh Polri?
Sebagian analis melihat dinamika ini sebagai sinyal retaknya kesolidan antara kepolisian dengan lingkar kekuasaan lama. Jokowi tak lagi menjabat, dan tak semua institusi negara ingin terus-menerus memikul beban warisan kontroversial masa pemerintahannya. Di sinilah celah hukum menjadi panggung tarik-ulur kepentingan antara kekuasaan yang sedang surut dan aparat penegak hukum yang tengah membaca arah angin.
Apa pun hasil akhirnya, drama hukum soal ijazah Jokowi ini telah menjadi semacam barometer: apakah negara ini masih punya keberanian menyentuh kebenaran, atau justru semakin pandai menyembunyikannya di balik jubah formalitas hukum?