Oleh: Entang Sastraatmadja
Di tengah gelombang penugasan sosial dari pemerintah — mulai dari penyaluran bantuan hingga pengadaan beras nasional — Perum Bulog justru mencatatkan laba keuangan. Tak tanggung-tanggung, keuntungan perusahaan pelat merah itu pada tahun 2024 mencapai Rp66,12 miliar. Fakta ini disampaikan Direktur Utama Perum Bulog, Novi Helmy Prasetya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI belum lama ini.
Sekilas, angka itu seolah membuktikan bahwa tidak semua BUMN terus-menerus jadi beban negara. Tapi jika dicermati lebih dalam, muncul pertanyaan penting: apakah laba Rp66,12 miliar itu patut dibanggakan? Sebab jika Bulog benar-benar diarahkan menjadi raksasa dalam bisnis pangan nasional, maka angka tersebut sesungguhnya terlalu kecil untuk dibanggakan.
Masalahnya, bagaimana mungkin Bulog bisa menghasilkan laba besar, jika kesehariannya justru lebih sibuk menjalankan fungsi sosial ketimbang fungsi bisnis? Saat panen raya berlangsung, misalnya, Bulog mendapat tugas mulia — sekaligus berat — untuk menyerap gabah petani sebanyak mungkin. Targetnya? Tiga juta ton setara beras.
Ini bukan perkara mudah. Apalagi kebijakan terbaru membebaskan petani menjual gabah mereka tanpa syarat kadar air dan hampa. Artinya, berapa pun kadar air atau sampah dalam gabah, Bulog tetap wajib membelinya dengan harga Rp6.500 per kilogram.
Secara sosial, kebijakan ini tentu menggembirakan petani. Tapi di sisi lain, bagi Bulog, ini justru menyimpan potensi persoalan besar, terutama terkait kualitas dan daya simpan gabah. Artinya, demi melaksanakan perintah negara, Bulog harus siap menanggung risiko kerusakan dan pembengkakan biaya penyimpanan.
Seluruh sumber daya Bulog pun dikerahkan untuk tugas itu. Pemerintah bahkan mengawasi langsung kinerja Bulog di daerah-daerah. Sejumlah kepala wilayah hingga kepala cabang dicopot akibat buruknya serapan gabah. Susunan direksi juga dirombak; direktur utama diganti, dewan pengawas ditata ulang. Demi satu tujuan: menyukseskan program penyerapan gabah.
Hasilnya memang terasa. Target serapan terlampaui. Cadangan beras nasional meningkat signifikan. Tapi, satu pertanyaan tetap menggantung: sampai kapan Bulog harus menjalankan fungsi sosial yang menyita seluruh energi korporatnya? Dengan kondisi seperti ini, peluang untuk bertumbuh sebagai entitas bisnis nyaris tak ada.
Kini wacana untuk menjadikan Bulog sebagai lembaga otonom di bawah kendali langsung Presiden Prabowo kembali mengemuka. Rencana ini disebut-sebut menjadi bagian dari “grand design” reformasi kelembagaan sektor pangan nasional. Menteri Zulhas, yang kini menjabat sebagai Menko Pangan, konon ditunjuk menjadi komandan untuk proyek besar ini.
Namun, sejauh ini, belum terlihat langkah konkret selain bongkar pasang petinggi. Pertanyaan publik pun wajar muncul: apakah reformasi kelembagaan Bulog akan benar-benar dilanjutkan setelah musim panen usai, atau akan kembali dikubur oleh rutinitas birokrasi?
Laba Rp66,12 miliar memang bisa dianggap prestasi — setidaknya Bulog tidak merugi. Tapi jika laba itu diraih sambil mengorbankan peluang bisnis dan terlalu banyak menyandang beban negara, maka itu adalah alarm. Alarm bahwa Bulog selama ini telah menjelma jadi “tangan panjang” negara, tapi kehilangan otot bisnisnya.
Kini bola ada di tangan Presiden Prabowo dan Menko Pangan Zulhas. Apakah Bulog akan dibiarkan tetap jadi BUMN berstatus Perum seperti sekarang — yang setengah sosial, setengah bisnis — atau diubah menjadi lembaga pangan otonom negara yang kuat, strategis, dan benar-benar profesional?
Kita tunggu jawabannya. Semoga tidak terlalu lama.