FusilatNews – Di negeri yang konon menjunjung tinggi demokrasi dan supremasi hukum, ancaman terhadap kebebasan pers kini menjelma dalam bentuk paling halus: pasal-pasal hukum yang lentur bak karet, siap membelit siapa pun yang bersuara nyaring.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Erick Tanjung, melontarkan kekhawatiran yang tak bisa dianggap remeh: Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah bergeser fungsi dari alat penegakan hukum menjadi senjata pembungkam. Target terbarunya: Tian Bahtiar, Direktur Pemberitaan Jak TV, yang dijerat sebagai tersangka obstruction of justice (perintangan penyidikan) hanya karena menayangkan berita-berita negatif soal ekspor crude palm oil (CPO) yang tengah diselidiki aparat.
Adakah ini kesalahan jurnalistik atau kesalahan politis? Yang jelas, ini bukan kesalahan pidana.
Pasal 21 UU Tipikor memang memberi ruang bagi penegak hukum untuk menindak siapa pun yang menghalangi penyidikan. Namun ketika pasal ini digunakan untuk menjerat jurnalis hanya karena konten pemberitaan, maka yang sedang disidik bukan sekadar tindakan, melainkan kebebasan berbicara itu sendiri. Apalagi, Indonesia sudah memiliki lex specialis dalam bentuk UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa segala urusan produk jurnalistik adalah ranah Dewan Pers. Bukan jaksa, bukan polisi, apalagi penguasa.
Bahwa Kejaksaan Agung merasa berhak menafsirkan sebuah berita sebagai tindakan kriminal adalah pelanggaran atas prinsip dasar demokrasi. Bahwa hal ini dilakukan tanpa mekanisme Dewan Pers lebih dulu, adalah pelanggaran terhadap tata kelola hukum yang waras.
Bila berita bisa dianggap sebagai alat obstruction of justice, maka setiap kritik bisa dikriminalkan. Setiap penelusuran jurnalistik dianggap makar. Setiap upaya transparansi dipukul mundur dengan dalih menggangu proses hukum. Pada akhirnya, publik tak akan tahu kebenaran. Yang tersisa hanyalah propaganda yang telah disterilkan.
Dewan Pers dan Komisi Kejaksaan sendiri menyatakan dengan tegas bahwa produk jurnalistik, betapapun tajam dan tidak menyenangkan, bukanlah delik hukum. Profesor Pujiyono dari Komjak menyebut pemidanaan terhadap karya jurnalistik sebagai kekeliruan serius, bahkan jika ditemukan unsur kesepakatan jahat di balik pemberitaan. Logikanya sederhana: yang dihukum adalah aktor pemufakatan, bukan beritanya.
Kasus Tian Bahtiar menjadi semacam tes lakmus bagi demokrasi Indonesia: apakah negara akan berdiri teguh melindungi kebebasan berekspresi, atau justru membiarkan aparat hukum mengubah UU Tipikor menjadi pasal sapu jagat yang membungkam mulut-mulut kritis?
Jika pembungkaman ini lolos, maka preseden telah tercipta. Wartawan mana pun yang mengganggu kenyamanan kekuasaan bisa diberangus. Kamera, pena, dan mikrofon tak lagi jadi alat pencerah, melainkan bukti perkara.
Dan di titik itu, kita tak sedang lagi melawan korupsi, melainkan sedang melanggengkan tirani.