Disarikan dari Tulisan M Yamin Nasution
Dalam negara demokratis, legitimasi kekuasaan bukan semata ditentukan oleh pemilu, melainkan juga oleh keterbukaan informasi. Itulah sebabnya, ketika ijazah Presiden Joko Widodo diminta publik untuk dibuka, respons lembaga negara semestinya tidak memunculkan kesan seolah-olah negara sedang menyembunyikan sesuatu.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Komisi Informasi Pusat, Mahkamah Agung, hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kompak menolak permintaan pembukaan ijazah Presiden, dengan alasan perlindungan data pribadi. Dalih tersebut tentu sah menurut Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Namun perlu diingat, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) juga memberikan pengecualian penting: data pribadi bisa dibuka jika berkaitan dengan kepentingan publik. Apalagi jika menyangkut calon pejabat publik tertinggi di negeri ini.
Ijazah bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah bukti awal dari kelayakan seorang calon presiden untuk mencalonkan diri. Dalam UU Pemilu, ijazah adalah salah satu syarat sah pencalonan. Artinya, keabsahan ijazah bukan lagi perkara privat. Ia telah menjadi objek yang sah untuk diuji publik, apalagi jika ada keraguan yang beredar luas dan belum terjawab secara meyakinkan.
Pertanyaannya menjadi sangat sederhana: jika tidak ada yang perlu disembunyikan, mengapa harus takut membuka?
Tindakan lembaga-lembaga negara yang justru membatasi akses atas informasi ini telah menimbulkan preseden buruk bagi demokrasi. Ketika institusi negara memilih menutup informasi yang sejatinya berada dalam ruang akuntabilitas publik, kepercayaan rakyat pun ikut tergerus. Negara yang kuat bukanlah negara yang mampu menyembunyikan, melainkan negara yang bersedia diperiksa.
Apalagi, standar verifikasi publik di negeri ini sangat tinggi terhadap rakyat biasa. Untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, prajurit TNI, polisi, bahkan kepala desa, ijazah harus diverifikasi dengan ketat. Lalu mengapa standar itu tiba-tiba longgar ketika menyangkut Presiden?
Demokrasi kita sedang dirundung paradoks: keterbukaan diminta dari rakyat, tetapi ditolak oleh penguasa. Rakyat diminta percaya tanpa diberi kesempatan untuk menguji. Hukum tak lagi menjadi alat membela kebenaran, melainkan menjadi tameng kekuasaan.
Jika benar ijazah Presiden itu sah dan asli, semestinya pembuktiannya sangat mudah. Tetapi jika penolakan terus berulang, pertanyaan pun akan terus bergema. Dan semakin lama pertanyaan itu dibiarkan tanpa jawaban, semakin besar pula keraguan publik terhadap integritas institusi negara.
Keterbukaan adalah inti dari demokrasi. Menolak transparansi sama artinya menolak akuntabilitas. Dan jika akuntabilitas tidak lagi menjadi prinsip kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah oligarki yang berlindung di balik konstitusi.