FusilatNews – Di panggung kekuasaan yang dibangun dari ilusi, Joko Widodo kini tampak seperti pemain sandiwara yang kehilangan naskah. Setiap gestur politiknya belakangan ini justru memperjelas satu hal: ia sudah mati langkah. Bukan karena lawan yang terlalu tangguh atau medan yang terlalu curam, tetapi karena jalan yang ia pilih sejak awal dibangun di atas pondasi kebohongan.
Sejak periode pertama pemerintahannya, Jokowi kerap memposisikan diri sebagai pemimpin sederhana dari pinggiran. Janji-janji populis dilempar ke publik seperti permen karet: manis di awal, namun cepat hambar dan akhirnya dibuang. Dari revolusi mental yang tak kunjung datang hingga keberpihakannya pada oligarki yang kian terang-terangan, narasi Jokowi tumbuh bagai pohon yang akarnya busuk namun dipaksa terus berbunga.
Kebohongan demi kebohongan itu kini menjelma menjadi labirin yang menyesatkan langkahnya sendiri. Ibu Kota Negara (IKN) yang digadang-gadang sebagai warisan peradaban justru menjadi simbol ambisi yang kehilangan akal sehat. Ketika rakyat bergulat dengan harga kebutuhan pokok dan pendidikan yang makin mahal, istana sibuk mengurusi parade di tengah hutan. Sementara itu, hukum berubah menjadi alat pelindung keluarga dan kroni. Netralitas institusi publik dipreteli perlahan, hingga tinggal kulit.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, kebijakan yang tidak konsisten dan penuh manipulasi bukan hanya melemahkan legitimasi, tetapi juga menjebak pemimpinnya dalam absurditas. Langkah Jokowi yang dulu tampak lincah kini justru tampak kikuk dan kehilangan arah. Ia menari di antara jargon dan realitas yang tak pernah bertemu.
Tidak heran jika publik makin banyak yang mengernyitkan dahi. Mereka mulai sadar, apa yang tampak sebagai langkah strategis ternyata hanya gerak putar-putar di tempat. Tidak ada keberanian untuk berhenti, tapi juga tidak ada kejelasan untuk melangkah maju. Kepemimpinan Jokowi, dalam banyak hal, kini seperti orkestra yang kehilangan konduktor—berisik, membingungkan, dan akhirnya kehilangan makna.
Kini, dengan kekuasaan yang perlahan menjauh dan kredibilitas yang terus memudar, Jokowi berdiri di persimpangan sejarah. Ia bisa memilih untuk jujur pada kegagalannya, atau terus bermain dalam narasi lama yang sudah tidak laku. Tapi satu hal pasti: langkah yang dibangun di atas kebohongan, tak akan pernah benar arah tujuannya.