FusilatNews – Ada sebuah ironi besar yang sedang menggelinding di ruang publik kita—sebuah lakon hukum yang jika tidak menyedihkan, mungkin layak ditertawakan. Kisah ini bermula dari dugaan pemalsuan ijazah seorang tokoh publik. Alih-alih membuktikan keaslian dokumen itu dengan transparansi dan keterbukaan, yang bersangkutan justru melaporkan balik warga sipil yang menduga adanya kepalsuan. Alasannya? Mereka dianggap menyebarkan fitnah. Dasarnya? Surat kehilangan dari kepolisian.
Mari kita pelajari alurnya dengan jernih. Ketika masyarakat atau aktivis mempertanyakan keabsahan sebuah ijazah yang beredar—dengan harapan mendapatkan klarifikasi dan penjelasan dari pihak bersangkutan—itu adalah bagian dari hak publik dalam sistem demokrasi. Namun alih-alih menjawab keraguan publik dengan data dan dokumen otentik, yang dilakukan justru memutarbalikkan logika: pergi ke kantor polisi, membuat laporan kehilangan ijazah, lalu menggunakan laporan itu sebagai dasar untuk menuduh balik bahwa mereka yang mempertanyakan keaslian ijazah telah melakukan kejahatan.
Inilah absurditasnya. Surat kehilangan bukanlah bukti keaslian. Ia adalah laporan administratif bahwa suatu dokumen pernah ada, dan kini hilang. Ia tidak serta-merta membuktikan bahwa dokumen tersebut asli. Jika memang dokumen itu asli, bukankah lebih mudah menunjukkan salinannya, meminta klarifikasi dari lembaga pendidikan yang menerbitkan, atau menunjukkan rekam jejak akademik yang lengkap? Namun tidak, yang dilakukan adalah menggunakan celah hukum untuk menekan balik publik yang kritis.
Dan di sinilah kejahatan berikutnya terjadi: menggunakan instrumen negara—polisi dan hukum—untuk membungkam kritik. Masyarakat yang menyuarakan pertanyaan dengan dalil dan bukti visual diperlakukan seperti kriminal, sementara inti persoalan—dugaan pemalsuan ijazah—dibiarkan kabur begitu saja dalam kabut birokrasi dan permainan retoris.
Kasus ini menjadi semacam template dari praktik pembalikan logika hukum yang makin sering terjadi: pelapor berubah menjadi terlapor, korban menjadi terdakwa, dan penyalahguna kekuasaan tampil seolah-olah sebagai yang tertindas. Di negara dengan sistem hukum yang sehat, pengungkapan kebenaran adalah tujuan utama. Namun dalam kasus ini, kebenaran tampak dikaburkan dengan langkah-langkah prosedural yang tidak menyentuh substansi.
Ada dua kejahatan yang terekam dalam kasus ini. Pertama, jika benar ijazah itu palsu, maka itu adalah tindak pidana serius yang mencoreng integritas jabatan publik. Kedua, jika tuduhan pemalsuan itu dijawab dengan laporan palsu (surat kehilangan yang manipulatif), lalu digunakan untuk memenjarakan kritik, maka itu adalah kejahatan terhadap demokrasi dan kebebasan sipil.
Pertanyaan pentingnya: apakah aparat penegak hukum cukup independen untuk membedakan antara laporan kehilangan dan bukti kepemilikan sah? Apakah logika hukum masih berlaku, ataukah telah sepenuhnya disandera oleh kekuasaan?
Jika negara terus dibiarkan melanggengkan logika semacam ini, maka kita sedang menyaksikan kehancuran nalar hukum di depan mata. Dan itu bukan hanya soal satu ijazah, tapi tentang masa depan demokrasi kita.