Oleh: Entang Sastroatmadja – Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Ada kekhawatiran yang mencuat dari berbagai kalangan terkait penyerapan gabah petani oleh Perum Bulog pada musim panen tahun 2025. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika kita cermati pola penyerapan selama ini, terutama dengan adanya aturan baru yang mewajibkan Bulog membeli gabah apa adanya, banyak pihak pantas merasa risau.
Dengan dibebaskannya petani menjual gabah hasil panen tanpa syarat kadar air dan kadar hampa, kecenderungan pragmatis pun muncul. Petani tak lagi terpacu mengeringkan gabah hingga kadar air maksimal 25% dan kadar hampa 10%. Mereka memilih menjual gabah ‘apa adanya’, selama harga tetap Rp6.500 per kilogram. Maka tak mengherankan, gabah yang diserap Bulog rata-rata adalah gabah basah.
Dampak Gabah Basah: Beras Bermasalah
Inilah pangkal persoalan. Beras yang dihasilkan dari gabah basah menyimpan banyak kelemahan. Setidaknya lima persoalan utama mengintai:
- Kualitas rendah: Gabah basah rentan rusak, menghasilkan beras dengan mutu buruk.
- Rentan jamur: Kadar air tinggi mendorong pertumbuhan jamur, memperparah kerusakan selama penyimpanan.
- Warna dan tekstur buruk: Proses pengeringan yang tak sempurna memengaruhi tampilan beras.
- Rasa dan aroma tak sedap: Beras dari gabah basah seringkali bau dan kurang enak.
- Umur simpan pendek: Daya tahan produk menurun drastis, berisiko cepat rusak.
Karena itu, pengeringan gabah tetap menjadi proses krusial yang tak boleh diabaikan. Problemnya, bagaimana memastikan petani tetap melakukan pengeringan sebelum menjual ke Bulog?
Edukasi Petani dan Kolaborasi Strategis
Perum Bulog tidak bisa bekerja sendiri. Edukasi petani adalah kunci, agar mereka memahami pentingnya kadar air dan hampa dalam menentukan kualitas beras. Bulog harus bersinergi dengan pihak terkait: Kementerian Pertanian, Pemda, perguruan tinggi, hingga kelompok tani.
Sayangnya, pepatah “nasi telah menjadi bubur” kini cukup relevan. Banyak gabah basah telah masuk gudang Bulog sebagai cadangan beras pemerintah (CBP). Maka, agar kualitas tetap terjaga, berikut langkah mendesak yang harus diambil:
- Pengeringan segera hingga kadar air sekitar 14%.
- Gunakan mesin pengering untuk efisiensi dan mengurangi risiko.
- Kendalikan suhu dan kelembapan saat pengeringan.
- Tangani gabah dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan fisik.
Langkah-langkah ini harus menjadi prioritas sebelum gabah disimpan jangka panjang di gudang Bulog.
Momentum Pembelajaran: Musim Panen 2025
Menghadapi musim panen April–September 2025 yang dimulai serentak dan dipimpin langsung Presiden Prabowo dari Banyuasin, Bulog harus bercermin dari pengalaman Oktober–Maret lalu. Apakah membeli gabah sembarangan, tanpa memedulikan kadar air, adalah kebijakan yang layak dilanjutkan?
Ini pertanyaan strategis yang menuntut jawaban lugas. Jika tujuan akhir adalah cadangan beras nasional yang berkualitas, maka gabah yang diserap pun harus bermutu, bukan “any quality”.
Penutup
Kualitas beras ditentukan oleh kualitas gabah. Gabah bermutu berarti kadar air dan hampa sesuai ketentuan. Tanpa itu, jangan harap menghasilkan beras yang tahan lama dan layak konsumsi. Perum Bulog mungkin lihai mengolah gabah basah menjadi beras, tapi upaya ini akan jauh lebih efektif jika kualitas bahan bakunya sejak awal sudah terjaga.
Karena itu, mari kita koreksi arah, benahi kebijakan, dan jaga mutu dari hulu. Jika tidak, kita hanya akan menuai beras yang cepat rusak dan menyia-nyiakan perjuangan petani serta anggaran negara. Begitu!