Di masa Orde Baru, keluarga berencana (KB) bukan sekadar metode kontrasepsi; ia adalah visi kebangsaan. Negara menggulirkan program NKKBS—Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera—dengan segala kekuatan naratif dan strukturalnya. Dari iklan televisi hingga penyuluhan desa, dari penyuluh lapangan hingga poster di puskesmas, negara hadir dengan satu semangat: menyejahterakan rakyat melalui pengendalian jumlah anak. Di balik jargon “Dua Anak Cukup”, ada imajinasi tentang manusia Indonesia masa depan yang lebih sehat, lebih berpendidikan, dan lebih berdaya.
Tapi kini, di era ketika negara makin sering berbicara seperti korporasi, dan rakyat kian diposisikan seperti obyek statistik, keluarga berencana tidak lagi menjadi visi. Ia menjadi sekadar instrumen teknokratis. Dan ketika alat tidak lagi dibingkai visi, maka ia bisa menjadi alat kekerasan yang membungkam nalar dan menggusur moral.
Lihat saja usulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang ingin menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan sosial (bansos). Sebuah pemikiran yang, dengan segala hormat, lebih menyerupai logika manajerial pabrik daripada etika pemerintahan demokratis.
Ketika syarat bansos dikaitkan dengan pemotongan potensi reproduksi permanen, maka negara bukan lagi sekadar mengatur—ia memaksa, menentukan siapa yang pantas hidup, siapa yang boleh berkembang biak, siapa yang dianggap beban, dan siapa yang dinilai layak ditolong.
Ketua Bidang Keagamaan PBNU, Gus Fahrur, dengan tepat menyebut kebijakan ini sebagai sesuatu yang “menyedihkan”. Bagaimana tidak? Kemiskinan diperlakukan seperti dosa turunan yang harus ditebus dengan pengorbanan biologis. Orang miskin seakan diminta “menebus” bantuan negara dengan alat vital mereka. Kebijakan ini bahkan tidak mempedulikan fakta bahwa vasektomi bersifat permanen, berbeda dari alat kontrasepsi yang bersifat sementara dan bisa disesuaikan dengan kondisi atau kepercayaan seseorang.
Orde Baru memang otoriter, tetapi mereka memahami satu hal penting: membentuk masa depan harus dimulai dari membentuk kesadaran, bukan sekadar memaksa tindakan. NKKBS hadir dalam bingkai besar pembangunan manusia. Ada penyuluhan, kampanye budaya, pendekatan berbasis agama, hingga peran aktif tokoh masyarakat. Program KB menjadi gerakan sosial yang melibatkan hati dan pikiran rakyat.
Di era Prabowo ini, banyak program terasa mentah—seperti belum melewati proses berpikir mendalam, tak punya akar filosofis, dan yang paling menyedihkan: tak punya empati. Segalanya tampak dirancang dari atas, dari balik meja rapat, bukan dari pemahaman lapangan. Kebijakan dibuat berdasarkan logika teknis: anggaran, target angka, efisiensi. Tapi rakyat bukan angka, dan kebijakan sosial tidak bisa ditimbang seperti logistik.
Usulan vasektomi sebagai syarat bansos juga mencerminkan gagalnya elite memahami generik dari konsep KB itu sendiri. KB bukan hanya tentang membatasi kelahiran. Ia adalah tentang membangun keluarga yang siap secara mental, sosial, dan ekonomi. Ia adalah bagian dari pembangunan manusia. Bukan sekadar urusan rahim atau testis.
Sayangnya, di tangan mereka yang tidak paham visi, alat menjadi senjata. Dan ketika negara menggunakan bansos—yang seharusnya menjadi hak dasar warga negara miskin—sebagai alat paksaan kebijakan, maka kita telah menyaksikan transformasi negara kesejahteraan menjadi negara kalkulatif, yang menimbang nilai hidup manusia berdasarkan jumlah anak dan angka pengeluaran.
Di sinilah ironi besar itu lahir: saat Orde Baru—dengan segala otoritarianismenya—masih bisa menempatkan KB dalam kerangka pembangunan manusia, era demokrasi hari ini justru gagal memberi makna pada kebijakan yang menyangkut martabat dan hak dasar rakyat.
Jika negara ingin mengendalikan kelahiran, mulailah dengan edukasi, bukan paksaan. Jika negara ingin rakyatnya sejahtera, mulailah dari keadilan sosial, bukan syarat bantuan yang melecehkan harkat.
Dan jika negara ingin dipercaya, ia harus berhenti memanfaatkan kemiskinan sebagai alasan untuk memperkosa pilihan hidup rakyat.