FusilatNews – Dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini, UNESCO mengusung tema yang menggugah refleksi: “Reporting in The Brave New World: The Impact of Artificial Intelligence on The Press and The Media”. Tema ini mengajak dunia untuk melihat lebih dalam dampak kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) terhadap jurnalisme, bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dari sisi etika, tanggung jawab, dan pergeseran norma dalam masyarakat informasi.
Dulu, jurnalisme adalah profesi yang melekat erat dengan standar etis, pelatihan profesional, serta keterikatan pada institusi pers yang sah. Pewarta adalah mereka yang menjalani tugas sosial dengan tanggung jawab besar: mencari kebenaran, menyuarakan suara yang tak terdengar, serta mengawasi kekuasaan. Namun kini, norma itu bergeser. Dengan gawai di tangan dan media sosial di genggaman, hampir setiap orang bisa menjadi “pewarta.” Informasi dapat diproduksi, disebarkan, dan dikomentari secara instan, tanpa filter atau mekanisme pengawasan yang ketat. Norma jurnalisme tidak lagi menjadi monopoli ruang redaksi, tapi tersebar luas di ruang-ruang digital.
Keberadaan AI mempercepat dan memperdalam pergeseran ini. Menurut UNESCO, AI telah mengubah praktik jurnalisme dengan menyediakan alat yang mampu meningkatkan pelaporan investigasi, mempercepat pembuatan konten, dan mempermudah pengecekan fakta. AI membantu analisis data dalam skala besar, menerjemahkan berita ke berbagai bahasa secara otomatis, dan bahkan menyarankan narasi yang relevan dalam hitungan detik. Namun, bersamaan dengan kemajuan ini, muncul pula pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab atas informasi yang dihasilkan oleh mesin? Bagaimana publik membedakan informasi yang bernilai jurnalistik dengan konten yang direkayasa atau dimanipulasi?
Pergeseran norma ini memunculkan tantangan ganda. Pertama, bagi para jurnalis profesional, ini adalah saat untuk menegaskan kembali nilai-nilai dasar jurnalisme: verifikasi, integritas, dan keberpihakan pada kebenaran. Di tengah banjir informasi dan konten berbasis algoritma, jurnalisme bermutu menjadi mercusuar yang membimbing publik. Kedua, bagi masyarakat luas, ini adalah panggilan untuk melek informasi (media literacy) agar mampu memilah antara fakta dan fiksi, antara laporan jurnalistik dan manipulasi opini.
Ironisnya, di era ketika teknologi memungkinkan semua orang untuk berbicara, suara-suara kritis justru terancam dibungkam—baik oleh negara, oleh platform digital, maupun oleh opini publik yang terpolarisasi. Oleh karena itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia tidak hanya menjadi momentum merayakan kebebasan berekspresi, tetapi juga merenungi batas-batas baru kebebasan itu sendiri di tengah algoritma dan kecerdasan buatan yang semakin canggih.
Maka, tantangan kita hari ini bukanlah menolak kehadiran AI atau menyesali pergeseran norma profesi, tetapi memastikan bahwa di tengah “dunia baru yang berani” ini, prinsip-prinsip jurnalistik tetap menjadi fondasi bersama. Sebab, tanpa kebenaran yang diperoleh dengan integritas, masyarakat akan kehilangan arah, dan kebebasan itu sendiri akan menjadi semu.