Oleh Prihandoyo Kuswanto-Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Panca Sila
Komprador dikenal sebagai kelas sosial menengah yang berbeda dari masyarakat lainnya. Dalam perspektif Marxian-Maois, mereka disebut sebagai “kelas borjuis komprador”—sekelompok orang yang tidak memiliki kesetiaan terhadap negeri dan bangsanya. Komprador adalah mereka yang menjual kepentingan bangsa demi keuntungan pribadi, atau secara lebih radikal, dapat disebut sebagai pengkhianat.
Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002, negara ini mengabaikan perjanjian luhur serta tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Justru, banyak aparat pemerintahan yang berperan sebagai komprador. Pendukung demokrasi liberal tidak menyadari bahwa sistem ini pada akhirnya memperkuat oligarki, di mana kekayaan dan kekuasaan hanya berpihak pada segelintir orang, sementara rakyat kecil semakin tertindas. Buktinya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat Indonesia.
Ketimpangan Agraria: Negeri yang Dijual
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 71% tanah di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi kehutanan. Selain itu, 23% tanah dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar dan konglomerat. Sisanya, yang hanya sebagian kecil, dimiliki oleh masyarakat. Ketimpangan ini menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa. Jika tidak ada reformasi agraria yang nyata dan redistribusi tanah untuk rakyat, masa depan bangsa ini akan semakin suram.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu direformasi secara mendasar. Banyak sengketa tanah di Indonesia terjadi akibat dominasi para komprador yang menduduki jabatan strategis di BPN. Bahkan, tidak hanya daratan, laut pun kini diberikan sertifikat kepada pihak tertentu demi kepentingan investor.
Oligarki dan Produk Hukum yang Menindas
Oligarki telah mengakar dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Sekelompok kecil elite memiliki kuasa untuk mengendalikan negara dengan menciptakan produk hukum yang hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri, sementara hak-hak rakyat terpinggirkan. Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mendapat penolakan luas dari buruh, petani, perempuan, dan masyarakat adat, tetapi tetap disahkan oleh pemerintah dengan dalih kepentingan investasi.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN) semakin memperlihatkan bagaimana hukum digunakan untuk merampas hak-hak rakyat. Data dari Catatan Akhir Tahun LBH Semarang 2020 menunjukkan bahwa sepanjang tahun tersebut terdapat 36 kasus pelanggaran HAM dengan 2.352 korban di Jawa Tengah. Sebanyak 24 kasus di antaranya berasal dari proyek-proyek strategis nasional yang mengakibatkan perampasan lahan secara paksa.
Konflik Agraria dan Perampasan Tanah
Perampasan tanah rakyat terjadi di berbagai wilayah, dari Wadas, Rempang Batam, Kalimantan, Sumatera, Halmahera, hingga Sumbawa. Konflik-konflik agraria yang melibatkan kekerasan oleh aparat keamanan semakin menguatkan peran para komprador yang menjadi kaki tangan oligarki. Beberapa kasus besar yang mencerminkan praktik ini antara lain:
- Rempang Eco City,
- Geothermal Poco Leok,
- Bandara Kulon Progo,
- Reklamasi Teluk Jakarta,
- Eksplorasi nikel di Wawonii,
- Perampasan hutan masyarakat adat Suku Awyu,
- Penggusuran Tamansari,
- Mafia tanah di Dago Elos.
Bukan hanya petani yang menjadi korban, tetapi juga nelayan yang kehilangan ruang hidup mereka akibat kebijakan pro-kapital yang semakin menggerus sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang. Ironisnya, badan-badan yang mendapat legitimasi pemerintah seperti PSN, Badan Otorita Kawasan Pariwisata, dan Badan Otorita Ibu Kota Negara justru menjadi instrumen perampasan lahan rakyat dengan dalih pembangunan.
Dampak Demokrasi Liberal: Politik Transaksional
Hampir 25 tahun yang lalu, Indonesia mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002, yang disebut sebagai “amandemen” tetapi pada kenyataannya menggiring negara ini ke dalam sistem demokrasi liberal. Pancasila yang dahulu menjadi landasan bernegara kini diabaikan. Kaum intelektual kampus, guru besar, politikus partai, hingga ulama dan kiai turut terbius oleh sistem ini, yang pada akhirnya melahirkan politik transaksional. Demokrasi berubah menjadi ajang “siapa membayar, dia berkuasa”—politik uang merajalela.
Dengan sistem ini, banyak anggota DPR, gubernur, wali kota, dan bupati yang telah menjadi komprador, mudah dibeli dan tunduk pada kepentingan oligarki. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya berbagai undang-undang yang justru merugikan rakyat. UU tersebut kemudian ditegakkan oleh aparat kepolisian dan militer dengan dalih hukum, yang pada praktiknya justru menindas rakyat kecil, seperti yang terjadi di Rempang dan Wadas.
Jalan Keluar: Kembali ke UUD 1945 dan Pancasila
Kerusakan yang terjadi di negeri ini sudah sangat parah. Tidak ada jalan lain selain kembali kepada UUD 1945 yang asli serta Pancasila sebagai ideologi negara. Hanya dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat dikembalikan dan negeri ini terbebas dari cengkeraman oligarki serta para komprador yang menjual bangsa demi keuntungan pribadi.
Harapan besar tertumpu pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk menginisiasi gerakan nasional guna mengembalikan Indonesia kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Tanpa upaya ini, Indonesia akan terus terjebak dalam sistem yang menindas rakyatnya sendiri dan memperkaya segelintir elite yang berkuasa.