Kontributor : ABD. MURHAN , R.SE.
Jakarta-FusilatnewsDi tengah berbagai dinamika politik dan sosial di dalam negeri, Indonesia kini dihadapkan pada ancaman serius dari sebuah proyek raksasa yang sedang berkembang di Thailand. Proyek yang diberi nama Canal Kra ini, yang telah dimulai pada tahun 2015, diperkirakan akan selesai dan mulai beroperasi pada tahun 2025. Canal Kra, sebuah terusan sepanjang 120 km dan lebar 500 meter, akan menghubungkan Laut China Selatan langsung ke Samudera Hindia, mengubah peta jalur pelayaran global dan memberikan dampak besar terhadap ekonomi Indonesia.
Proyek ini diprediksi akan “mematikan” ekonomi tiga negara besar yang selama ini menguasai jalur utama pelayaran internasional, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selama ini, Selat Malaka menjadi salah satu jalur pelayaran paling sibuk di dunia, dengan hampir 80.000 kapal kargo melewatinya setiap tahun, atau sekitar 220 kapal per hari. Setiap kapal yang melintas dikenakan biaya sekitar 300.000 dolar AS (sekitar 4 miliar rupiah). Dengan keberadaan Canal Kra, kapal-kapal besar akan memilih jalur baru ini sebagai jalan pintas, menghindari Selat Malaka yang terkenal padat dan rawan perompakan.
Seiring dengan semakin besarnya ketergantungan dunia pada pelayaran internasional, Canal Kra berpotensi menggeser posisi Selat Malaka sebagai jalur pelayaran utama. Proyek terusan ini menjanjikan efisiensi lebih tinggi karena jalur yang lebih pendek, mengurangi risiko perompakan yang masih menjadi masalah di Selat Malaka, serta menghindari birokrasi yang rumit di tiga negara yang mengelola kawasan tersebut.
Pengerjaan Canal Kra tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada stabilitas geopolitik. Thailand, yang memegang kendali penuh atas proyek ini, telah menggandeng China dalam pengelolaan terusan, yang dapat membawa dampak lebih jauh terhadap dinamika Laut China Selatan. Di masa depan, pangkalan militer besar China di terusan ini dapat memperkuat posisi Thailand di tengah perebutan kekuasaan di wilayah tersebut.
Jika proyek ini benar-benar beroperasi pada 2025, Indonesia, Malaysia, dan Singapura diperkirakan akan menghadapi kerugian yang sangat besar. Menurut beberapa analisis, Indonesia bisa kehilangan sekitar 11 miliar dolar AS (sekitar 143 triliun rupiah) per tahun jika Selat Malaka tidak lagi dilalui kapal. Kerugian ini tentu akan mempengaruhi berbagai sektor, terutama industri pelabuhan dan kargo, yang menjadi tulang punggung ekonomi negara. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Tanjung Priuk, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, dan lainnya, akan menghadapi penurunan signifikan dalam volume barang dan pendapatan.
Namun, meskipun ancaman terhadap perekonomian sudah sangat nyata, di dalam negeri, Indonesia masih terjebak dalam perdebatan yang jauh dari esensi masalah global ini. Sementara negara-negara seperti Thailand dan China sedang mempersiapkan diri untuk meraih keuntungan besar, Indonesia masih terbelenggu dalam perdebatan sentimen agama dan ras, serta permasalahan politik domestik yang tidak produktif.
Proyek Canal Kra ini menjadi pengingat keras bahwa Indonesia perlu segera beradaptasi dengan dinamika global yang terus berubah. Tanpa perubahan besar dalam cara berpikir dan bertindak, negara ini akan semakin tertinggal, bukan hanya dari segi politik, tetapi juga dalam hal ekonomi dan stabilitas internasional.