Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama, menyoroti batalnya rencana investasi yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura asal Jepang, Softbank, pasa proyek Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan.
Menurutnya, hal ini dapat berdampak pada pembebanan terhadap APBN yang semakin besar untuk pembangunan IKN.
“Awal 2020 lalu, Pemerintah mengungkapkan bahwa Softbank berniat menanam investasi hingga Rp1.428 triliun, meskipun klaim itu kemudian dibantah Presiden Softbank Masayoshi Son. Dari peristiwa tersebut, PKS menilai perlu dikajinya dampak penarikan investasi tersebut, khususnya persentase sumber-sumber pendanaan IKN. Hal ini karena mencari investor baru bukanlah hal yang mudah,” ujar Suryadi dalam keterangan persnya kepada wartawan di Jakarta, Minggu pagi (13/03).
Suryadi memprediksi bahwa dengan adanya perang Rusia-Ukraina, terjadi situasi global berupa risiko inflasi yang tinggi. Besi, baja dan material konstruksi lainnya terutama yang impor akan mengalami kenaikan harga imbas dari terganggunya rantai pasok global. Dampaknya, biaya pembangunan IKN akan naik signifikan.
“Berkaca dari fenomena belakangan ini, PKS mengingatkan agar Pemerintah jangan sampai kemudian memperbesar pemakaian dana APBN demi keinginan mengejar target pembangunan IKN tepat waktu,” tegas Anggota DPR RI dari Dapil NTB ini.
Lebih lanjut, Suryadi merasa ada yang perlu diklarifikasi lebih lanjut dari batalnya rencana investasi Sofbank ini. Pasalnya, pasca pelantikan Bambang Susantono (dari Asian Development Bank/ADB) dan Dhony Rahajoe (dari Sinarmas Land) sebagai Kepala dan Wakil Otorita IKN pada hari Kamis, 10 Maret 2022, langsung keesokan harinya, Softbank justru menyatakan mundur dari proyek IKN.
“PKS mengusulkan agar DPR RI memanggil Kepala Otorita IKN untuk memberikan penjelasan tentang hal ini, terutama tentang bagaimana rencana Otorita IKN kemudian mencari investor-investor baru untuk IKN,” ungkapnya.
Mengingat, menurut Suryadi, mencari investor baru bukanlah hal yang mudah. Apalagi, target Pemerintah dalam Rencana Induk IKN terkesan sangat ambisius, yakni menyebutkan bahwa relokasi penduduk ke IKN akan dimulai pada tahun 2023 (TNI, Polri, dan BIN) dan awal tahun 2024 (representasi badan eksekutif, legislatif, yudikatif, serta ASN).
“Dengan tenggat waktu hanya 1-2 tahun ke depan, mundurnya Softbank akan menjadi preseden buruk bagi calon-calon investor IKN. Belum adanya kejelasan dari Pemerintah tentang skema peluang investasi asing, terutama dengan skema public private partnership (PPP), juga risiko politik dan kegaduhan belakangan tentang perpanjangan masa jabatan presiden dan pengunduran jadwal Pemilu 2024, akan membuat investor memilih wait and see,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa ketergesa-gesaan Pemerintah memindahkan IKN dengan masih banyaknya ketidaksiapan, ketidakjelasan, dan kegaduhan adalah suatu ironi yang semakin membuktikan proyek IKN ini tidak layak dilanjutkan.
“Kepala Otorita IKN tampaknya pun tidak akan dapat berbuat banyak karena masalahnya bukan tentang siapa yang menjadi Kepala Otorita IKN, tapi keberadaan IKN sendiri sudah menjadi masalah,” pungkas Suryadi.