Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
(Ikhtisar, Nepotisme Terkait Gibran Harus Dipertanggungjawabkan secara hukum oleh Anwar Usman, Suhartoyo, dan Hasim Ashari, eks Ketua KPU)
Jagung (Jaksa Agung) dan/atau Kapolri harus memerintahkan penangkapan terhadap Ketua MK yang menggantikan Anwar Usman dan Anggota KPU yang aktif pada tahun 2023. Selanjutnya, mereka harus diajukan ke peradilan. Apa dasar hukumnya?
Dasarnya adalah putusan MKMK tanggal 7 November 2023 terkait dugaan pelanggaran etik (moral hakim MK), yang tercantum dalam nomor 2/MKMK/L/11/2023. Putusan tersebut menyatakan bahwa Anwar Usman melanggar kode etik hakim MK karena berpartisipasi dalam perkara yang melibatkan kerabatnya, bertentangan dengan kode etik hakim MK dan sistem hukum yang berlaku. Kasus tersebut terkait pengujian materiil Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menetapkan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden.
Putusan MKMK tersebut menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman sebagai Ketua MK. Berdasarkan pasal 17 ayat (5) dan (6) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan suatu perkara wajib mengundurkan diri, dan pelanggaran terhadap ketentuan ini menyebabkan putusan tidak sah.
Oleh karena itu, logika hukumnya adalah bahwa putusan MK nomor 90/PUU-XI/2023 menjadi cacat hukum dan harus diulang dengan majelis hakim yang berbeda, sesuai dengan Pasal 17 ayat (7) UU No. 48 Tahun 2009.
Secara faktual, Gibran telah mendaftar sebagai cawapres pada 25 Oktober 2023, sebelum putusan MKMK nomor 2/MKMK/L/11/2023 dikeluarkan. Dengan demikian, KPU seharusnya mencoret nama Gibran sebagai cawapres karena putusan MKMK bersifat final dan mengikat. Sebagai alternatif, Prabowo dapat memilih pasangan lain, atau KPU harus tegas menjalankan undang-undang.
Maka, berdasar temuan dan bukti hukum, Jagung RI atau Kapolri dapat memerintahkan aparatur hukum untuk:
- Memeriksa dan menangkap Anwar Usman atas dugaan nepotisme, sesuai Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999, yang memuat ancaman pidana bagi pelanggar dengan hukuman penjara 2 hingga 12 tahun serta denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Memeriksa dan menangkap Suhartoyo, Ketua MK pengganti Anwar Usman, karena tidak mengulang sidang perkara No. 90/PUU-XI/2023 sesuai perintah hukum MKMK dan Pasal 17 ayat (7) UU No. 48 Tahun 2009.
Memeriksa dan menangkap Hasyim Ashari, eks Ketua KPU, karena tidak membatalkan pencalonan Gibran sebagai cawapres berdasarkan putusan MKMK yang menunjukkan adanya konflik kepentingan.
Selain itu, jika nepotisme ini merugikan negara atau terdapat unsur tindak pidana korupsi, dapat dikenakan pasal-pasal dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dari perspektif hukum pidana, bukti yang tersedia cukup untuk memproses hukum mereka. Dengan adanya pelapor, seharusnya Jagung dan Kapolri segera memulai proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari aspek yuridis formil, Jaksa Agung dan Kapolri wajib memerintahkan penangkapan Ketua KPK saat ini, Suhartoyo, mantan Ketua KPK Anwar Usman, serta mantan Ketua KPU Hasyim Ashari. Mereka diduga melakukan pelanggaran yang memiliki bukti autentik sebagai dasar untuk diproses hukum. Mengingat bahwa tindakan nepotisme termasuk kategori pelanggaran yang bukan delik aduan, dan sudah ada pihak yang melaporkannya, maka Jaksa Agung dan Kapolri selayaknya segera menindaklanjuti proses hukum para terduga tindak pidana tersebut. Proses hukum ini dapat dilakukan langsung oleh aparat hukum, karena kasus ini masih dalam batas waktu yang diperbolehkan secara hukum.