“Buat otakmu yang mirip konsep burung gagak, pergi kau!” seru hatiku setiap kali beberapa teman mencoba membujukku untuk berhenti membicarakan keburukan pemerintahan Jokowi. Mereka selalu bertanya, “Apa kamu tidak melihat keberhasilannya?” Dengan tenang aku menjawab, “Tidak. Saya akan tetap mengkritiknya, karena itu misi saya sebagai jurnalis.” Dan sesungguhnya, yang aku lawan adalah pemikiran yang kerasukan konsep burung gagak.
Konsep burung gagak adalah sebuah simbol dari kebiasaan otak yang terperangkap dalam satu persepsi, seperti burung gagak yang biasanya hitam. Ketika muncul satu gagak albino—seekor burung putih yang bertentangan dengan persepsi umum—pikiran langsung menolak gagasan tersebut. “Itu bukan burung gagak,” kata mereka, karena menurut otak mereka, gagak haruslah hitam. Begitulah pikiran sebagian orang: mereka menolak melihat hal-hal yang berbeda dari keyakinan lama mereka, karena otak mereka hanya mampu menerima gagasan yang sesuai dengan kebiasaan atau norma yang telah ada.
Seorang wartawan sejati tidak bisa ikut terperangkap dalam “otak gagak.” Wartawan harus berani menyelidiki yang tersembunyi, membongkar hal-hal yang dianggap tabu, dan menggugat kepercayaan lama yang hanya menjadi sarang persembunyian dari kenyataan yang sebenarnya. Mereka bukan sekadar pengikut arus. Mereka harus melihat lebih luas, menangkap sisi yang tak terlihat, dan merasakan apa yang terabaikan oleh kebiasaan berpikir mayoritas.
Teori “In-Group Bias” dari psikologi sosial mendukung konsep ini. Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung memihak pada kelompok atau pendapat yang dianggap umum dan dikenal, sementara segala sesuatu di luar “kelompok” dianggap asing atau salah. Inilah yang menjadikan otak kita mudah terjebak dalam konsep burung gagak; ia menganggap bahwa yang berbeda dari mayoritas adalah keliru. Sebagai wartawan, adalah kewajiban untuk memeriksa segala sesuatu yang berada di luar persepsi umum, bahkan ketika itu membuat orang lain merasa tidak nyaman atau terganggu.
Selain itu, konsep confirmation bias memperkuat gagasan burung gagak ini, di mana manusia cenderung hanya mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka, mengabaikan hal-hal yang berlawanan. Kebiasaan ini membuat banyak orang lebih memilih melihat kesuksesan seorang pemimpin dan mengabaikan kegagalan atau masalah yang ditimbulkannya. Akibatnya, hanya satu sisi cerita yang dipahami, sedangkan kebenaran utuh terabaikan.
Inilah sebabnya, seorang jurnalis harus menantang arus. Tugasnya adalah membongkar kebiasaan-kebiasaan berpikir sempit yang hanya menyorot satu sisi dan mengabaikan sisi lainnya. Meskipun sulit dan sering disalahpahami, seorang jurnalis harus tetap berpegang pada kebenaran, bukan pada konsep burung gagak yang selalu ingin melihat hal-hal hanya dalam warna hitam atau putih. Sebagai pencari kebenaran, kami harus selalu berani melihat gagak albino itu sebagai bagian dari kebenaran yang lebih besar, untuk membongkar kebiasaan-kebiasaan berpikir yang membutakan mata kita dari keseluruhan cerita.























