Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik, Mujahid 212
Persoalan kecil di daerah pertambangan dapat memicu konflik fisik. Jika TNI diizinkan secara resmi berbisnis oleh Pemerintah RI, hal ini berpotensi memicu bentrokan fisik di pusat-pusat bisnis, termasuk di zona pertambangan yang dikelola oleh organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Tidak hanya bentrok antara TNI/militer dan masyarakat sipil, tetapi juga bentrokan antara militer dengan militer. Dunia bisnis berfokus pada keuntungan, sehingga tidak menutup kemungkinan anggota TNI memiliki kemitraan dengan individu atau kelompok sipil, termasuk ormas.
Jiwa kepemimpinan dan nasionalisme seorang jenderal militer seperti Prabowo tentunya akan menolak mengorbankan anggota TNI dan masyarakat sipil. Dengan tegas, ia akan membatalkan izin TNI untuk berbisnis demi keamanan, kenyamanan, dan persatuan seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu sumber konflik potensial adalah kecemburuan sosial terkait pembagian rejeki antara ormas terkait jenis tambang, produksi, dan margin keuntungan. Perbedaan pendapatan ini dapat menyulut pertikaian antara ormas keagamaan dan non-keagamaan. Konflik semacam ini bukan hal yang mustahil, mengingat ormas non-keagamaan sering terlibat keributan hanya karena perebutan lahan parkir.
Program Jokowi ini terlihat aneh dan bahkan menjurus pada blunder, mirip dengan program TAPERA dan IKN yang tidak jelas. Terakhir, kebijakan yang memberi izin TNI berbisnis dan mengelola tambang kepada ormas keagamaan sangat berisiko dan mengarah pada politik devide et impera ala Jokowi. Kebijakan ini lebih banyak membawa mudharat daripada manfaat. Oleh karena itu, Prabowo akan mendapatkan dukungan mayoritas publik jika membatalkan atau menggagalkan kebijakan ini setelah menjabat sebagai Presiden RI.
Tidak mustahil partai politik juga akan meminta izin untuk mengelola tambang, mengingat peran mereka dalam legislatif dan kabinet. Partai-partai ini sangat berpengaruh dalam kebijakan politik, ekonomi, hukum, adab, dan budaya bangsa dan negara.
Jokowi akan lebih bijak jika mempercepat produksi mobil sedan Esemka dan menargetkan 0% daerah miskin di Indonesia, mumpung masa jabatannya belum berakhir. Daripada membuat kebijakan politik yang tidak bermanfaat, lebih baik fokus pada hal yang lebih konkret dan bermanfaat.