Jakarta – Fusilatnews – Pada Oktober 2014, majalah Time menampilkan Joko Widodo atau Jokowi sebagai sosok di sampul depan dengan judul A New Hope. Time saat itu memotret Jokowi sebagai cerminan dari harapan rakyat Indonesia—seorang pemimpin yang berasal dari rakyat biasa, yang mampu membawa angin segar bagi perubahan dan demokrasi di Indonesia. Jokowi dilihat sebagai representasi rakyat, “Jokowi adalah kita,” tulis majalah tersebut.
Namun, seperti yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton, seorang sejarawan Inggris terkemuka pada abad ke-19, “Kekuasaan cenderung korup; kekuasaan absolut korup secara absolut.” Ungkapan ini sering menjadi bahan diskusi dalam kajian ilmu politik, terutama di kalangan mahasiswa. Bagi mereka, Acton menjadi pembelajaran wajib untuk memahami dinamika kekuasaan yang cenderung disalahgunakan ketika seseorang mencapai puncaknya. Hipotesis ini seolah menemukan relevansinya dalam perjalanan kekuasaan Jokowi yang saat ini telah menduduki posisi puncak sebagai presiden selama dua periode.
Kini, setelah hampir satu dekade berkuasa, muncul kritik yang menyebut bahwa Jokowi bukan lagi sosok yang dilihat sebagai “harapan baru” seperti yang digambarkan pada tahun 2014. Dalam beberapa waktu terakhir, ia terlihat sibuk menyusun strategi keberlanjutan pengaruh politiknya di pemerintahan yang akan datang, terutama menjelang pemilihan presiden 2024. Keterlibatan keluarganya dalam dunia politik, seperti pencalonan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, mengindikasikan adanya upaya untuk menjaga dinasti politik dan keberlanjutan pengaruhnya di pemerintahan masa depan.
Perubahan citra Jokowi dari “harapan baru” menjadi sosok yang semakin erat dengan kekuasaan memunculkan banyak diskusi dan kritik di kalangan pengamat politik. Banyak yang bertanya, apakah Jokowi sedang jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti para pemimpin sebelumnya—terlalu sibuk menjaga pengaruh kekuasaan hingga mengabaikan prinsip awal kepemimpinannya yang bersahaja?
Dinamika kekuasaan Jokowi ini menjadi bahan analisis yang menarik, terutama ketika kekuasaan yang dimilikinya semakin memuncak dan potensi korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang semakin dikhawatirkan oleh banyak pihak. Apakah harapan baru itu masih ada, ataukah ia telah berubah menjadi seorang pemimpin yang terjebak dalam lingkaran kekuasaan? Waktu yang akan menjawabnya.