Pembentukan kabinet Merah Putih oleh Presiden Prabowo yang melibatkan peningkatan jumlah menteri dan wakil menteri secara signifikan tentu menarik perhatian publik. Kabinet yang lebih besar ini mengundang berbagai pertanyaan tentang urgensi, efisiensi, dan tujuannya bagi masa depan Indonesia.
Pada satu sisi, penambahan jumlah menteri dan wakil menteri mungkin dilihat sebagai upaya untuk memberikan representasi politik yang lebih luas, serta memastikan setiap sektor pemerintahan mendapatkan perhatian penuh. Dalam politik Indonesia yang plural dan koalisi besar, memperbanyak jabatan menteri bisa menjadi cara bagi presiden untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini memungkinkan banyak partai dalam koalisi mendapatkan posisi yang strategis, yang pada akhirnya membantu menjaga dukungan politik di parlemen.
Namun, yang harus dicermati adalah risiko dari kabinet gemuk, yang dapat membawa konsekuensi negatif dalam hal efisiensi pemerintahan. Jumlah menteri yang banyak bisa memperpanjang rantai birokrasi, memperlambat pengambilan keputusan, dan meningkatkan beban anggaran negara. Setiap posisi yang ditambahkan membawa serta biaya operasional, gaji, serta fasilitas lainnya yang harus ditanggung oleh APBN. Lebih dari itu, pembesaran kabinet berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan, yang pada akhirnya dapat memperlambat pelaksanaan program-program prioritas nasional.
Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, kabinet gemuk pernah menjadi simbol inefisiensi dan korupsi di mata publik. Ketika jumlah jabatan terlalu banyak, pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja masing-masing menteri menjadi semakin sulit. Hal ini berpotensi menciptakan ruang abu-abu untuk penyalahgunaan kekuasaan, dan menyebabkan kebijakan yang tidak fokus serta tidak terkoordinasi dengan baik.
Dilema yang dihadapi Prabowo adalah menemukan keseimbangan antara stabilitas politik dan efisiensi pemerintahan. Jika terlalu fokus pada memuaskan kebutuhan politik, pemerintahannya bisa terseret dalam masalah yang pernah dialami pemerintahan sebelumnya: inefisiensi, korupsi, dan gagal mewujudkan janji-janji reformasi yang diharapkan oleh rakyat.
Sebaliknya, kabinet ramping yang lebih fokus pada kualitas dibandingkan kuantitas dapat membawa pemerintahan yang lebih gesit dan efektif. Dengan meminimalisir jumlah kementerian dan menempatkan figur-figur kompeten di setiap jabatan, Prabowo bisa menciptakan pemerintahan yang solid dan berorientasi hasil. Hal ini juga akan mengirimkan pesan bahwa pemerintahannya berkomitmen untuk reformasi birokrasi yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, apakah kabinet gemuk atau ramping, esensi yang terpenting adalah bagaimana efektivitas pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan, memprioritaskan kesejahteraan rakyat, dan membawa Indonesia ke arah kemajuan. Prabowo perlu berhati-hati dalam memastikan kabinet yang dia bentuk tidak menjadi beban birokrasi, tetapi menjadi alat yang produktif dan efisien untuk mencapai cita-cita nasional.