OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA – (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).
Pengertian kampanye secara umum adalah cara untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran, untuk meningkatkan kepedulian dan perubahan perilaku dari target audience.
Kampanye juga dapat dilihat sebagai alat advokasi kebijakan untuk menciptakan tekanan publik pada aktor-aktor kunci, misalnya peneliti/ilmuwan, media massa, dan pembuat kebijakan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dilihat dari kacamata politik kampanye memiliki arti kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan Presiden, lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara.
Dalam kaitannya dengan kebijakan meragamkan pola makan masyarakat, dibutuhkan adanya skenario kampanye yang betul-betul utuh, holistik dan komprehensif. Strategi kampanye yang terukur sangat dibutuhkan. Terlebih jika kita ingin melahirkan model kampanye yang sistemik dan berkelanjutan. Jangan lagi kampanye meragamkan pola makan, dikemas ala kadarnya.
Program meragamkan pola makan masyarakat sendiri, sebetulnya telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Sayang, dalam perkembangannya, program penganekaragaman pangan terkesan kalah pamor dengan program peningkatan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Pemerintah lebih serius menggenjot produksi ketimbang upaya diversifikasi pangan.
Kita tentu paham betul apa yang menjadi alasan, mengapa Pemerintah lebih mengutamakan peningkatan produksi dari pada program meragamkan pola makan. Sebab, secara politik, pangan harus selalu tersedia sepanjang waktu. Sedangkan kegiatan meragamkan pola makan dapat digarap kapan saja, selama bahan pangannya tersedia.
Pangan B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman), kini mengedepan jadi isu program diversifikasi pangan yang diandalkan Pemerintah. Menyedihkannya, suara B2SA ini baru terdengar sayup-sayup. Terkadang malah tak terdengar sama sekali. Badan Pangan Nasional yang diharapkan nampu tampil sebagai “prime mover” penerapan B2SA, juga masih belum optimal menunjukkan kinerja terbaiknya.
Lebih mengenaskan, jika dukungan anggaran Pemerintah terhadap Badan Pangan Nasional ini relatif kecil. Menyedihkannya lagi, ternyata anggaran Pemerintah Daerah (APBD) untuk pengembangan program B2SA pun terekam sekedarnya saja. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan hanya sekedar menggugurkan kewajiban semata.
Dalam teori komunikasi Berlo (S-M-C-R), keberadaan Badan Pangan Nasional ini betul-betul cukup strategis. Sebagai lembaga pangan tingkat nasional, Badan Pangan Nasional, mestinya mampu tampil sebagai simpul koordinasi pembangunan pangan dalam spirit mewujudkan swasembada, ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.
Dalam kampanye meragamkan pola makan ini, Badan Pangan Nasional sebagai “source” sudah seharusnya memiliki desain perencanaan yang matang dan terukur untuk jangka waktu cukup panjang. Sebut saja perencanaan kampanye meragamkan pola makan untuk 25 tahun ke depan. Desain ini penting, agar kegiatan ini dilakukan tidak seenak udelnya saja.
“Massage” nya juga harus jelas. Substansinya perlu benar-benar dikemas sedemikian rupa, sehingga rakyat dapat berempati terhadap program diversifikasi pangan. Pesan yang disampailan sebaiknya mampu menggugah nurani masyarakat atas betapa seriusnya langkah meragankan pola makan.
“Channel” umumnya berkaitan dengan media yang akan digunakan. Banyak metode dan model media yang cukup efektif untuk dijadikan alat bantu mengkampanyekan B2SA ini. Apakah mau menggunakan media sosial (medsos), media elektronik, media cetak, atau pun tatap muka langsung dengan masyarakat.
Terakhir soal “receiver”. Dalam ilmu komunikasi, penerima atau komunikan (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain. Dalam hubungan nya dengan program meragamkan pola makan, receivernya adalah masyarakat yang selama ini telah terhipnotis oleh beras sebagai makanan pokok. Peran pembuat pesan, sangat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan.
Model S-M-C-R versi Berlo diatas, sebetulnya dapat diterapkan dalam pola kampanye meragamkan pola makan masyarakat. Hanya penting dicatat, upaya meraih sukses atas sebuah ajakan dalam masyarakat yang terjebak dalam budaya patrimonoal, soal keteladanan merupakan hal serius untuk diterapkan dan dipertontonkan kepada masyarakat.
Meragamksn pola makan rakyat akan terwujud, jika para pemimpin bangsa, sesuai dengan tingkatannya, mampu memberi teladan bagaimana mengkonsumsi pangan B2SA itu ? Artinya, kita jangan berharap program B2SA akan sukses, jika dalam hidup kesehariannya, kita saksikan ada Gubernur atau Bupati melahap makanan tanpa menerapkan B2SA.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, kembali penulis penting mengingatkan, jangan lagi Pemerintah menjadikan pendekatan sisi konsumsi hanya kebijakan ala kadarnya. Namun, para penentu kebijakan, sudah saatnya memposisikan sisi konsumsi tidak kalah penting dengan penanganan sisi produksi. Ini baru agdol !