Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus bertanggung jawab atas peristiwa pembubaran diskusi bertajuk, “Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional” di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9/2024), oleh sekelompok pemuda yang menamakan diri Forum Tanah Air.
“Ironisnya, aksi pembubaran itu justru terjadi di hadapan petugas kepolisian yang hadir di tempat kejadian perkara atau TKP,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH di Jakarta, Minggu (29/9/2024).
Apa pun alasannya, kata Petrus, kehadiran sejumlah personel Polri di lokasi diskusi yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis terhadap pemerintah itu, berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP) Polri, bertujuan untuk mengamankan dan melindungi pihak yang menjadi target aksi pembubaran sejumlah orang yang berunjuk rasa.
“Bukan sebaliknya, membiarkan aksi anarkis berupa pembubaran diskusi yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis tersebut,” cetus Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.
Pertemuan atau diskusi sejumlah tokoh kritis tersebut, lanjut Petrus, adalah bagian dari pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berkumpul dan berpendapat.
“Karena itu harus dihomati dan dilindungi, apalagi yang hendak didiskusikan adalah tentang dinamika politik di Tanah Air terkait penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi dan penegakan hukum, sebagai bagian dari partisipasi publik terhadap pembangunan yang haknya dijamin konstitusi dan perundang-undangan lainnya,” terangnya.
Oleh karena itu, tegas Petrus, tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak melakukan penindakan terhadap otak atau aktor intelektual dan pelaku lapangan yaitu sejumlah anak muda yang datang membubarkan diskusi sejumlah tokoh nasional dimaksud.
“Ini jelas sebagai upaya untuk mencoreng wajah pemerintahan yang akan datang di era Prabowo Subianto yang sebentar lagi dilantik, sekaligus menjadi bukti bahwa institusi Polri sangat lemah dalam mengemban misi perlindungan terhadap warga negara Indonesia,” sesalnya.
“Faktanya, tidak ada penjelasan bahwa Polri telah menindak para pelaku. Padahal apa yang terjadi dengan pembubaran diskusi di Kemang itu adalah bagian dari peristiwa pidana persekusi, pengrusakan barang dan teror yang terjadi di hadapan petugas kepolisian, terlebih tidak ada penjelasan bahwa Polri telah menangkap para pelaku lapangan di TKP,. Yang tersiar adalah Polri membiarkan peristiwa itu terjadi dengan sempurna atau tuntas,” lanjutnya.
Menurut Petrus, jika Polri tidak membuka penyelidikan atas peristiwa pembubaran paksa diskusi tersebut, maka Polri patut diduga telah menggunakan jasa “preman” atau memperalat “preman” untuk membubarkan diskusi sejumlah tokoh kritis yang selama ini mengkritik keras jalannya pemerintahan Presiden Jokowi sebagai bagian dari partisipasi publik.
Pecat Kapolri dan Turunkan Pangkat
Peristiwa premanisme berupa pembubaran diskusi sejumlah tokoh kritis tersebut, masih kata Petrus, tidak hanya sebagai sebuah peristiwa yang memalukan, akan tetapi juga akan menajdi peristiwa yang membuat noda hitam dalam pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto, karena masyarakat akan menilai peristiwa premanisme itu sebagai sinyal kuat bangkitnya pola-pola Orde Baru pada pemerintahan era Prabowo Subianto.
“Untuk membuktikan bahwa Polri tidak terlibat atau tidak punya ‘hidden agenda’ (agenda terselubung) untuk menggagalkan diskusi para tokoh kritis dimaksud, berupa meminjam tangan atau menggunakan tangan preman atau menggunakan pola premanisme, maka dalam waktu 3 kali 24 jam terhitung sejak 28 Agustus 2024, Polri harus sudah menangkap aktor intelektual aksi premanisme berikut para pelaku lapangan.
“Polri harus segera lakukan tindakan kepolisian terhadap pelaku lapangan yang identitasnya dipastikan sudah di tangan aparat kepolisian,” pintanya.
“Jika tidak dilakukan penindakan terhadap otak atau aktor intelektualnya, maka Presiden Jokowi harus memecat Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatan Kapolri dengan terlebih dahulu menurunkan pangkatnya satu tingkat ke bawah menjadi jenderal bintang tiga, dan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak lagi menjadikan Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri di era pemerintahannya, karena Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah gagal membawa Polri ke arah yang lebih baik selama 4 tahun menjadi Kapolri,” urainya.
Apa yang terjadi dengan pembubaran diskusi yang hendak dilakukan oleh para tokoh kritis itu dinilai Petrus menjadi bukti bahwa premanisme semakin merajalela dan melembaga di dalam misi resmi aparat kepolisian. Preman, katanya, diperalat Polri untuk berhadapan dengan masyarakat sipil dalam beberapa kasus di lapangan, dan ini jelas bukan cara yang beradab, bukan pengayoman dan pelindungan, melainkan pembodohan dengan melanggar hukum dan HAM.
Protes Keras
Oleh karena itu, pihaknya mengutuk keras peristiwa di mana Polri mengabaikan bahkan membiarkan pola premanisme berlangsung tanpa penindakan, tidak ada yang tertangkap tangan dan bahkan dibiarkan dan dipertontonkan oleh petugas kepolisian hingga misi preman itu selesai.
“Terdapat rekaman adegan di mana petugas polisi bersalam damai dengan oknum-oknum pelaku lapangan, memberi kesan bahwa Polri puas dengan sukses pelaku lapangan mengeksekusi pembubaran diskusi para tokoh,” sindirinya.