Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
De Aƈtore Non Probante, Reus Absolvitur é Aƈtore Non Probante, Reus Absolvitur, Præsumtionis Juris de Jure.
Ketika penuntut tidak dapat membuktikan, maka terdakwa harus dibebaskan, negara harus ganti kerugian & Polisi terlarang melakukan kekerasan, demikianlah anggapan hukum atas putusan hakim.
Viralnya kasus pembunuhan di Cirebon yang terjadi pada Agustus 2016, telah menimbulkan luka bagi masyarakat dan membawa wajah institusi penegakan hukum Indonesia demikian busuk.
Kasus ini sekaligus membuat seluruh mata pencari keadilan terluka. Bagaimana tidak, keterangan demi keterangan oleh saksi-saksi dan keluarga tervonis telah membuktikan bahwa manipulasi dan intimidasi masih terus digunakan oleh petugas dalam proses pemeriksaan.
Tubuh instansi polri yang seharusnya menjadi pohon pelindung terbesar masyarakat dari rasa tidak aman, faktanya telah digunakan petuga-petugas yang berkhianat (disebut oknum) untuk memperkaya diri sendiri dan penyalahgunaan otoritasnya.
Dalam kasus Vina Cirebon, bila merujuk kepada BAP, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim serta dikaitkan dengan keterangan-keterangan resmi Polda Jabar dalam penangkapan Pegi Setiawan (alias PG, selanjutnya disebut PG).
Maka, apa yang dilakukan Pihak Polda Jabar sangat jauh dari Konsep KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2014 (Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014) tentang proses penahanan dan penetapan tersangka.
Paska Putusan MK a quo, maka permohonan praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum untuk diajukan ke pengadilan namun terdapat karakteristik khusus pengajuan praperadilan terkait penetapan tersangka yakni :
- Penetapan tersangka tidak sah karena pemeriksan saksi-saksi, ahli, tersangka, penggeledahan, serta penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka sehingga tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti;
- Permohonan praperadilan yang kedua kalinya mengenai penetapan tersangka tidak dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem karena belum menyangkut pokok perkara;
- Penetapan tersangka atas dasar hasil pengembangan Penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam berkas berbeda adalah tidak sah.
Seperti yang dapat diketahui oleh seluruh publik bahwa PG telah ditahan dan Polda Jabar telah menyampaikan secara resmi ikhwal penahan tersebut.
Penahanan PG merujuk Putusan Inkracht van Gewisjde Pengadilan Cirebon yang memuat tentang DPO, Putusan Merujuk hasil Tuntutan JPU, Tuntutan berdasarkan BAP kepolisian kala itu.
Akan tetapi dari tiga nama yang dimuat sebagai “DPO” didalam putusan, dua dinyatakan fiktif oleh pihak kepolisian, HOW COME???.
Selain dari itu, pihak kepolisian Jabar saat ini telah selesai melakukan tes kejiwaan terhadap PG. Tes ini sebagai alat bukti tambahan, namun pertanyaan mendasar apakah ini tidak bertentangan dengan Putusan MK diatas? Tidak sama sekali, dan penahan tersebut tidak sah secara aturan hukum.
Pertanyaan kedua, dapatkah ahli kejiwaan yang melakukan tes terebut mengaitkan kondisi kejiwaan saat ini dengan delapan tahun silam, saat dimana PG berusia antara 21-23 Tahun sekaligus disangkakan melakukan pembunuhan.
Selanjutnya, dapatkah ahli kejiwaan yang melakukan tes tersebut menjelaskan berapa besar perubahan kejiwaan seseorang dengan selama delapan tahun?
Pertanayaan ini harus benar-benar dijabarkan pihak kepolisian dan harus diminta oleh Tim Lawyer bila tes ini dijadikan sebagai alat bukti tambahan untuk menahan PG.
DUGAAN PELANGGARAN HAM BERAT
Putusan MK diatas telah memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai tersangka.
Di dalam ketentuan Pasal 8 UU 39/1999 tentang HAM diatur bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”.
Meskipun kata-kata due process of law tidak ditemukan dalam Magna Carta, namun piagam ini yang umumnya dipandang sebagai cikal bakal Due Process of Law.
Mengutip Simon Schama dalam “A History of Britain, vol 1, 2011” dan Tom Andrew “The Forgotten Rootsof the Magna Carta” menyatakan bahwa:
Magna Carta “bukan akta kelahiran kebebasan” dalam tradisi retoris dari Deklarasi Kemerdekaan. Namun, itu “adalah sertifikat kematian despotisme”. Ini, untuk pertama kalinya, Raja Inggris ditempatkan di bawah aturan hukum. Misalnya, menghilangkan kekuasaan raja untuk menangkap rakyatnya sewenang-wenang, sekarang, Raja harus mengakui habeas corpus, harus mengakui hak manusia untuk untuk mendapatkan proses hukum dalam masalah penahanan.
Magna Carta sebagai perjanjian bukan hanya memberikan perlindungan kepada bangsawan, tetapi kepada semua orang, dimana dinyatakan bahwa semua orang tidak dapat dipenjarakan atau diasingkan, direbut kebebasannya tidak dengan proses hukum atau atas nama hukum, kecuali dengan proses hukum yang dilakukan secara adil berdasarkan hukum yang berlaku. Berdasarkan proses peradilan biasa dengan diberikan kepadanya hak untuk membela diri dan menyampaikan bukti sesuai dengan prosedur hukum.
Keterangan Saka Tatal, salah satu tervonis yang kala itu masih berusia dibawah umur, bahwa Saka telah mendapatkan intimidasi dan penyiksaan saat proses pemeriksaan.
Keterangan lain dapat dilihat dari interview seorang Youtuber sekaligus eks Bupati salah satu wilayah Jabar, bahwa beberap saksi yang dihadirkan di Pengadilan yang memberikan alibi bahwa Saka berada ditempat lain dan berada dengannya saat kejadian.
Akan tetapi keterangan ini tidak diambil hakim sebagai pertimbangan, bahkan tidak dimuat dalam redaksi putusan. Sebaliknya keterangan saksi yang memberatkan yang termuat didalam BAP, hanya tidak dihadirkan di pengadilan dijadikan dasar sebagai pertimbangan bagi hakim.
Pada Konprensi PERS yang dilakukan oleh Otto Hasibuan, disana terdengar melalui seorang ibu, bahwa tervonis lain juga mengalami intimidasi yang luar biasa saat proses pemeriksaan.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum acara pidana (KUHAP) termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti kesalahan yang tidak masuk di akal dan menjurus pada unfair prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful legal evidence).
KESIMPULAN
Ada banyak PR besar Kapolri yang harus didukung masyarakat untuk menuntaskan kerusakan ini, Kapolri dalam pidatonya pernah mengatakan Ikan busuk berawal dari kepala “Rotten Fish out of the cop”.
Maka, Kapolri harus membersihkan bahkan memotong kepala-kepala yang busuk dari anggotanya, termasuk bila ada dugaan keterlibatan mantan petinggi-petinggi Kepolisian terdahulu, makai ia pun harus membersihkan hal tersebut, lebih baik memberiskan nama institusi dan peribadi Kapolri daripada membiarkan perusak institusi kepolisian terus mengotori.
Jaksa dan Hakim yang kala itu ikut dalam proses penelitian (Jaksa Peneliti, Penuntut) harus diperiksa secara marathon atas kasus ini, sebab in criminal justice system ketiga unsur tersebut terduga melakukan siasat busuk sehingga melahirkan ketidakadilan.